Senin, 12 Maret 2012

Filosofi Rumah Gadang (Rumah Adat Minangkabau)

Apa yang kita bang­gakan dengan ru­mah gadang sekarang ini? Tergilas dengan rumah bergaya arsi­tektur mo­dern baik dari bentuk dan fungsinya. Rumah yang terpakai kadang kala sebagai pertanda dan “hiasan” kalau kita itu memang orang Mi­nang. Fungsinya kadang kala merana tak menyentuh hakekat kehidupan masyarakat Minangkabau yang konon katanya berfal­safah alam takambang jadi guru itu.

Sebab secara hakekatnya dari rumah gadang tersebut baik dari gaya seni bina, pembinaan, hiasan bagian dalam dan luar dan fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau ter­sebut. Walaupun demikian kitapun tak bisa mena­fikan di beberapa daerah yang masih kental adat dan budaya dan memfungsikan rumah gadang dalam kehidupannya de­ngan baik.

Bahkan ada yang masih terawat dengan baik dan berdiri dengan megahnya. Deretan rumah gadang tersebut dapat kita jumpai misalnya di Kabupaten Solok Selatan yang dijuluki dengan seribu rumah gadang, jejeran rumah gadang di Kota Solok dan Kabupaten Solok, Kabupaten Dharmasraya dan beberapa daerah lainnya di Propinsi Sumatera Barat.

Disigi dari filosofinya, rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena bentuknya yang besar melainkan fungsinya yang gadang. Ini ternukil dalam ungkapan yang sering kita dengan bila tetua-tetua adat membicarakan masalah rumah gadang tersebut.

Rumah Gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikat, Pintunyo banamo dalil kiasan, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang naik batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliak­nyo aluang bunian

Dari ungkapan tersebut sesung­guh­nya dapat kita pahami bahwa fung­si rumah gadang tersebut me­nyelingkupi bagian keseluruhan ke­hi­dupan orang Minangkabau itu sen­diri sehari-hari, baik sebagai tem­pat kediaman keluarga dan me­rawat ke­luarga, pusat melaksa­na­kan ber­bagai upacara, sebagai tem­pat ting­gal bersama keluarga dan inipun di­atur dimana tempat pe­rempuan yang sudah berkeluarga dan yang be­lum, sebagai tempat ber­mufakat, ru­mah gadang merupa­kan ba­ngun­an pusat dari seluruh ang­gota ka­um dalam membicarakan ma­sa­lah mereka bersama dalam se­buah suku, kaum maupun nagari dan sebagainya. Memang sebuah fung­­sional dari rumah gadang tersebut bila kita pahami dengan baik.

Sekarang pertanyaan kita adalah apakah fungsi rumah gadang tersebut memang seperti itu adanya sekarang?. Memang sulit untuk menjawabnya, namun jamak terjadi di daerah kita akan terjadinya degredasi dalam memfungsikan rumah gadang tersebut dalam kehidupan orang Minangkabau itu sendiri.

Berbagai persoalan yang muncul, mulai dari tingkat suku, kaum dan nagari kadang kala tak mengin­dahkan fungsi rumah gadang terse­but. Contoh kecil saja kita sebut, persoalan tanah yang sampai ke­tingkat pengadilan marupakan keti­dakmampuan kita memahami dari fungsi rumah gadang itu sendiri. Tidakkah ada pepatah Minangkabau yang menyebutkan bahwa “bulek aie dek pambuluah-bulek kato dek mupakat, Aie batitisan batuang-bana bana batatasan urang, Bajanjang naiek-batanggo turun” Ini dimu­syawarahkan dan dimufakatkan di rumah gadang sebetulnya. Namun kita lebih senang mengutamakan pemecahannya ke pengadilan dari pada ke rumah gadang tersebut. Tidakkah ada rumah gadang yang akan menyelesaikannya?

Dari perspektif sejarah, peme­rintah Kolonial Belanda sudah mewanti-wanti untuk memfungsikan hal tersebut dan menawarkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di nagari dengan adatnya. Pada 1930-an, bahkan menjadi praktek umum pengadilan bahwa perselisihan-perselisihan kaum, tidak diterima oleh pengadilan kecuali pihak-pihak yang berperkara telah memperoleh keputusan dari pemangku adat sebelumnya, secara implisit yakni fungsi rumah gadang tersebut (Guyt, 1934 : 134) Pada 1935, sejenis “peradilan kampung” secara resmi diterapkan oleh pemerintah kolonial. Sebuah ordonansi yang meng­amandemen Rechtsreglement voor de Buitenggewesten, R.B.G., disahkan dan dinyatakan bahwa : “Tindakan-tindakan hukum, dimana para hakim dari komunitas-komunitas yang lebih kecil harus membuat pertimbangan menurut hukum adat, tunduk kepada pertimbangan tersebut”. Bahkan lembaga-lembaga adat yang baru mendapat pengakuan itu mendapat status hakim perdamaian. Pribumi tidak dihalangi untuk menyampaikan perkara mereka ke pengadilan-pengadilan Belanda. Namun, distrikts­gerechten harus menerangkan kepada mereka apakah “peradilan kampung” itu telah memberikan keputusan dalam kasus tersebut, dan jika demikian, apakah mereka wajib mempertimbangkan keputusan tersebut

Beckman (2000) menulis bahwa se­jak kemerdekaan Hindia Belanda ta­hun 1945 situasi majemuk itu pada da­sarnya tidak berubah. Peraturan yang terkandung di dalam Pasal 163 dan 131. I.S misalnya pada umumnya te­tap berlaku dan tetap diterapkan di Pengadilan Negeri di Minangkabau ma­sa itu. Pasal 163 I.S (Indische Staatregeling) menetapkan siapa yang ter­golong kedalam kelompok pendu­duk yang mana, dan pasal 131 me­ngatur undang-undang mana yang ha­rus diterapkan untuk kelompok-ke­lompok penduduk tertentu. Begi­tu­lah nuansa bagaimana kekuatan adat diutamakan, walaupun dominasi hu­kum barat juga menyentuh kehi­dup­an masyarakat kita saat itu. Na­mun untuk kearah itu sudah dimu­lainya.

Begitu juga dengan hiasan di depannya yakni rangkiang. Tidak lagi menyentuh dan difungsikan dalam kehidupan kita. Cermati saja kejadian gizi buruk. Gizi buruk tak akan terjadi bila kita memahami roh rangkiang yang berdiri megah di depan rumah dagang. Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, setiap keluarga akan dihiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna dari sudut duniawi.

Kenapa tidak, untuk membeli barang-barang tersebut-terutama barang-barang yang berupa keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri telah ada rangkiang si tinjau lauik untuk membelinya. Begitu juga keperluan makan sehari-hari, sudah ada rangkiang si bayau-bayau. Kemudian ketika terjadi musim paceklik, maka untuk menga­tasinya sudah ada rangkiang si tanggung lapa. Dengan adanya rangkiang ini telah mewaspadai kita untuk tidak terjadinya kelaparan di kemudian hari-sebab dalam rang­kiang si tanggung lapa telah disiapkan cadangan padi.

Terakhir, pembenihan untuk ditanam setelah panen juga telah disiapkan dengan adanya rangkiang kaciak. Nah, sekarang sebetulnya menurut filosofinya di negeri kita ini tidak mengenal yang namanya gizi buruk, kelaparan, pinjam sini pinjam sana (ngutang) dan lain sebagainya. Rangkiang tidak lagi menjiwai dan dijiwai oleh masyarakat kita hari ini! (Undri, Haluan, Senin, 21 Maret 2011).

Ironinya ketika gempa dahsyat terjadi banyak para arsitek menya­rankan pembuatan rumah kede­pannya dengan mencontoh pola arsitekturnya yang ada pada rumah gadang. Argumentasinya adalah bahwa rangkaian dari arsitektur rumah gadang sangat kokoh dan bila terjadi gempa akan dapat memi­nimalisir terjadi kerusakan. Rumah gadang yang lagi di-gadangkan. Seakan-akan kita baliak lagi apabila dirasa perlu dan bila tidak perlu ditinggalkan. Itulah nasibnya rumah gadang sekarang ini.

Kedepan, memfungsikan rumah gadang dengan ke-gadangan-nya merupakan sebuah keharusan supaya kita tak tergilas dengan gilasan arus global dan modernisasi yang serta merta membuat kita akan terbawa arus jua. Segenap kita bergandengan tangan untuk mewujudkan ini.

Artkel ditulis oleh : UNDRI (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang), Sumber Harian Haluan,Selasa, 05 April 2011 02:16

Sumber : http://www.lanteraminang.net/index.php?/20111126537/Filosofi-Rumah-Gadang-Rumah-Adat-Minangkabau.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar