Secara umum UU NO.1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki–laki dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum perkawinan adat, merupakan suatu aturan, norma atau kaida pengikatan janji sehidup semati yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang, yang berlaku dan ditetapkan oleh adat. Hukum perkawinan adat memiliki banyak ragam dan variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, budaya, maupun kelas sosial.
Dari sekian banyak suku-suku yang tersebar di Nusantara, terselip salah satu suku yaitu suku Lio yang mempunyai kesugihan budaya luar biasa, memiliki kekhasan, dan ciri tersendiri dalam menerapkan konsep-konsep hukum perkawinan. Konsep-konsep hukum tersebut, merupakan suatu hasil daya cipta nenek moyang suku Lio yang sudah terwariskan sejak berabad-abad silam. Oleh karena itu, penulis mencoba mengajak para semua pembaca untuk menelisik lebih jauh, dan memahami lebih dalam betapa kayanya budaya Lio.
Dahulu, dalam pergaulan hidup sehari-hari, masyarakat Lio umumnya antara pria dan wanita, selalu ada kebebasan berinteraksi namun selalu juga saling memperhatikan harga diri, baik tua maupun muda. Pada hakikatnya, dalam menjaga harga diri tersebut, ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan oleh adat, selalu menjadi titik central dan pedoman untuk mengontrol, yang sudah terangkum dalam bentuk larangan-larangan.
Larangan-laangan itu sebagai berikut:
1) Dilarang menjamah tubuh, atau anggota tubuh seorang wanita yang bukan ibu atau isteri, yang bukan juga keluarga dekat, sedarah.
2) Menjamah pakaian yang sementara dipakai oleh seorang wanita, karena hal ini akan disamakan menjamah tubuh wanita itu.
Pelanggaran terhadap kedua ketentuan ini, seorang lelaki akan dikenakan denda (ndate wale) oleh pengadilan adat, bila orang yang dijamah melaporkan kepada ketua adat. Maka hukumnya berbunyi: “Te tebo tau fe’a, Sai lo tau mea”. (Fe’a-mea = merendahkan atau menghinakan). Sanksi yang akan dikenakan adalah: “Lombu lua = menutup malu” dengan emas atau hewan, seliwu seeko’ sama dengan dua pasang emas dan seekor hewan ditambah sepasang pakaian wanita (Lawo lambu). Setelah itu, untuk resminya diadakan “Mi mina” artinya Pelanggar harus menanggung beban untuk makan bersama seisi kampung, (Kampung pria dan wanita) dan harus memotong hewan sesuai keputusan pengadilan adat.
Tujuan dari larangan-larangan itu ialah, menjaga tercapainya maksud dan tujuan perkawinan, yaitu perkawinan yang berharga, yang menjaga dan mempertahankan kemurnian darah keturunan.
Seorang wanita atau seorang pria yang tidak murni, akan dipandang rendah, tidak disukai oleh masyarakat dan acap kali diasingkan serta mendapat olokan, sindiran atau ejekan.
Pada orang yang berkuasa, berwibawa dan yang berharta atau kaya, selain dari mempertahankan kemurnian darah keturunan, ada juga maksud dan tujuan lain sebagai berikut:
a) Mempertahankan hak, memperluas kekuasaan atau wilayah kekuasaan.
b) Mempertahankan dan meningkatkan wibawa serta memperluas pengaruh.
c) Memperluas hubungan keluarga.
Dalam menjamin kemurnian perkawinan serta menjamin tercapainya maksud tujuan perkawinan yang sentosa dan bahagia, dalam adat Lio dikenal tiga tatacara atau proses menuju ikatan perkawinan, ialah:
a) Perkawinan “Dhuku tu – lengge lima”. Tujuan utama dari perkawinan ini ialah untuk menjaga kemurnian darah, sebab perkawinan ini berlaku antara anak pria saudari dan anak wanita saudara (Ana eda doa), diutamakan yang sedarah (kandung). Lalu yang satu turunan, dengan mas kawin atau belisnya dikaitkan dengan mas kawin atau belis dari calon ibu mantunya. (NB: Perkawinan jenis ini sekarang sudah dilarang oleh gereja).
b) Perkawinan Pa’a Tu’a. Tujuan utama dari perkawinan ini ialah untuk mempertahankan harta kekayaan, disamping mempertahankan keturunan secara murni, juga tujuan-tujuan lain seperti wibawa dan kekuasaan dan lain sebagainya. Ikatan perkawinan dalam acara ini, ada juga antara anak pria saudari dan anak wanita saudara namun tidak dinamakan “Dhuku tu lengge lima”, sebab bukan (ana eda doa) dan mas kawin atau belisnya tidak dikaitkan dengan mas kawin atau belis dari ibu mantunya. Dalam hal ini, bila perkawinan ini tidak jadi dilaksanakan, pihak yang bersalah harus mengembalikan harta benda kepada pihak yang tidak bersalah dengan jumlah dua kali lipat dengan yang diterimanya, atau yang disebut “Walo Ngawu”, itu jika pihak wanita yang bersalah. Aka tetapi jika pihak pria yang bersalah disebut, “Walo Regu Pata”. Dengan segala kerugiannya menjadi keuntungan pihak yang tidak bersalah.
c) Perkawinan “Tana ale”. Tujuan utama dari perkawinan ini adalah untuk memperluas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan (beda kampung, suku dll), dengan maksud memperluas simpati dan kewibawaan serta kekuasaan dan sebagainya. Dalam perkawinan macam ini, bila pinangan sudah diterima tapi urusan selanjutnya tidak dilaksanakan, sehingga perkawinan tidak dilangsungkan, maka pihak pria dikenakan denda dengan sanksinya yang dinamakan “Tana ale, Pa’a welu”. Maka akan dikenakan denda ‘Seliwu seeko’, sama dengan dua pasang emas dan satu ekor hewan (Kambing dan anjing yang tidak terpakai).
Dari semua uraian ringkas hukum perkawinan adat Lio diatas, kini hukum-hukum perkawinan itu mengalami pergeseran dan terus berevolusi seiring perkembangan yang begitu dasyat, sehingga muncul pula tatacara perkawinan baru yang dapat dikatakan sudah menjadi tradisi adat masyarakat Lio, yaitu perkawinan suka sama suka, yang dikemukakan dengan alasan jodoh atau yang sering dikenal dengan wanita lari ikut pria, dengan tidak meminta pertimbangan orang tua.
Dalam perkawinan macam ini dalam sudut pandang tetua adat Lio, kurang menjamin kemurnian dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kesejahteraannya, sebab tidak memiliki dukungan dari pihak keluarga wanita. (Wanita bisa ditelantarkan dikemudian hari). Namun kini, pandangan itu lambat laun mulai sirna.
Dari ketiga macam perkawinan dalam adat Lio sebagai yang diuraikan diatas, dapat disingkat sebagai berikut:
1. Perkawinan “Dhuku tu-lengge lima”, tujuannya kemurnian darah.
2. Perkawinan “Pa’a tu’a”, tujuannya mempertahankan harta.
3. Perkawinan “Tana ale”, tujuannya memperluas hubungan kekeluargaan.
Perluh diketahui, dari semua jenis perkawinan diatas, perkawinan ‘tana ale’ merupakan salah satu bentuk perkawinan yang benar-benar menguras harta kedua pihak keluarga, karena orang tua kedua bela pihak berusaha mempertahankan wibawa dalam menerima lalu memberi, sehingga timbul suatu perlombaan dimana pihak yang memberi menunjukan kemampuannya, membalas penerimaannya dengan sandang dan pangan yang seimbang atau hampir seimbang nilainya dengan mas kawin atau belis yang diterimanya.
Menurut persepsi masyarakat suku Lio, penerimaan belis yang tinggi, sangat mempengaruhi status keluarga dimata masyarakat, dan dipandang sebagai keluarga terhormat dan bermartabat, sehingga acap kali orang tua wanita meminta mas kawin (Belis) yang cukup tinggi, tetapi mereka juga tentu memperhatikan pembalasaannya dengan sandang dan pangan yang memadai, akibatnya pemberian mas kawin atau belis kadang tersendat atau tidak diberi sama sekali bilah pihak keluarga pria tidak mampu. Itulah yang terjadi saat ini. Akan tetapi, akibat dari perkawinan jenis ini, kebanyakan masyarakat setempat sudah tidak memperhatikan tujuan kemurnian perkawinan itu sendiri, sebab kedua belah pihak selalu memusatkan perhatian pada mas kawin atau belis. Inilah kepincangan nyata yang ada sekarang dalam masyarakat Lio.
Selain dari ketentuan-ketentuan tersebut, ada pula ketentuan-ketentuan yang melarang untuk kawin mawin antara:
*) Saudara sepupu yang pihak ayah beradik kakak.
*) Saudara sepupu yang pihak ibu beradik kakak.
Disamping itu, dilarang pula kawin dengan ayah atau ibu, ayah tiri atau ibu tiri, saudari ayah atau saudari ibu, saudara ayah atau saudara ibu, ayah mantu atau ibu mantu atau juga anak mantu.
Pelanggaran dalam hal ini, dikenakan hukum adat yang berbunyi: “Nia mila, mata ke’o / Bela kela ia sissa”, yang berarti: mata gelap, mengundang malapetaka disambar petir. Sanksinya adalah: “Pini pipi lapi nia / lombu lua” dan ditutup dengan “Mea bela”, (Tutup muka, tutup badan dengan disertai upacara tolak bala supaya tidak disambar petir. Pelanggaran-pelanggarannya yang dipandang hina, pada orang yang berpengaruh atau berwibawa hilang, atau kuranglah pengaruh wibawanya, maka masyarakat akan memandangnya rendah sebab mengundang malapetaka dan bencana seperti; bela kela (Disambar petir), kora bere (Banjir dan tanah longsor) dan lainnya menurut kehendak yang dewata.
Sumber: http://watuneso.blogspot.com/2011/08/hukum-perkawinan-adat-lio.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar