Asal Mula Tedhak Siten
SEBAGAI pusatnya kebudayaan, berbagai ritual budaya sudah tentu sering diadakan oleh masyarakat Solo. Mulai dari pernikahan, kelahiran, hingga kematian tidak terlepas dari rangkaian upacara adat yang menjadi budaya Kota Solo. Seperti upacara adat yang ini, Tedhak Siten. Tedhak Siten adalah salah satu upacara adat budaya Jawa untuk anak yang berusia 8 sampai 9 bulan (pitung lapan), di daerah lain di Indonesia juga dikenal upacara adat turun tanah ini dengan istilah yang berbeda. Tedhak berarti turun dan siten berarti siti atau tanah.
Upacara ini mewujudkan rasa syukur karena pada usia ini si anak akan mulai mengenal alam di sekitarnya dan mulai belajar berjalan. Tujuan lain dari upacara ini adalah untuk mengenalkan sang buah hati kepada ibu pertiwi. “Karena dalam pepatah Jawa mengatakan ‘Ibu Pertiwi Bopo Angkoso’ yang berarti bumi sebagai ibu dan langit sebagai bapak,” ujar Mufti Raharjo Kepala Seksi Pelayanan Informasi Wisata Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Pemerintah Kota Solo.
Dalam upacara adat ini ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh si anak, di mana tiap tahap atau proses tersebut memiliki nilai-nilai budaya yang cukup tinggi.
Prosesinya memerlukan uba rampe (perlengkapan) yang beraneka ragam, dan dalam setiap uba rampe yang dipergunakan juga memiliki makna yang cukup dalam. Uba rampe yang diperlukan dalam upacara Tedhak Siten ini yaitu juadah (jadah) warna warni (7 warna: putih, merah, hijau, kuning, biru, cokelat, merah muda/ungu), tangga yang terbuat dari tebu ireng (tebu arjuna), kurungan (biasanya berbentuk seperti kurungan ayam) yang diisi dengan barang/benda (misalnya: alat tulis, mainan dalam berbagai bentuk dan jenis) sebagai lambang/tAnda untuk masa depan anak, banyu gege (air yang disimpan dalam tempayan/bokor selama satu malam & pagi harinya dihangatkan dengan sinar matahari), ayam panggang, pisang raja (melambangkan harapan agar si anak di masa depan bisa hidup sejahtera dan mulia, lawe wenang, dan udhikudhik (yang terdiri berbagai jenis biji-bijian, uang logam dan beras kuning).
Perlengkapan tambahan adalah jajan pasar, berbagai jenis jenang-jenangan, tumpeng lengkap dengan gudangan dan nasi. Untuk prosesinya sendiri ada beberapa tahap. Tahap pertama, si anak dibimbing orang tuanya untuk berjalan di atas juadah. Tahap kedua, kembali anak dibimbing menaiki tangga yang terbuat dari tebu ireng (dengan maksud agar si anak dalam hidupnya selalu lurus dalam jalan yang benar seperti tebu ireng, dan hidupnya makin terus meningkat menjadi lebih baik sesuai dengan apa yang dicita-citakan), uning, tumpeng robyong, dan tumpeng gundhul.
Tahap ketiga, anak diajak masuk ke dalam kurungan (kurungan di sini bermaksud untuk menjaga konsentrasi si anak) dan memilih benda yang telah disiapkan sebelumnya, dan benda yang dipilih tersebut menggambarkan apa yang akan dipilih oleh si anak di masa depannya, sebagai contoh jika si anak memilih mainan berbentuk alat kedokteran, maka di masa depan si anak akan menjadi dokter.
Sumber : http://www.koranjitu.com/
0 comments:
Posting Komentar