Tinjauan Kritis Atas Paham Perkawinan Menurut Masyarakat Adat Bajawa Dalam Terang Ajaran Gereja Katolik
Perkawinan merupakan suatu realitas yang amat fundamental dan eksitensial pada manusia. Fakta historis membuktikan bahwa realitas perkawinan sudah ada sejak manusia ada. Oleh karena itu, kehidupan perkawinan telah secara amat mendalam mewarani dan menjiwai seluruh arus perjalanan sejarah hidup umat manusia hingga dewasa ini. Lembaga perkawinan ini penting guna menjamin kontinuitas eksistensi generasi umat manusia di bumi ini.
Menyadari dalamnya nilai kodrati perkawinan maka Gereja Katolik sejak awal abad II sampai saat ini berusaha untuk mengangkat tinggi nilai luhur perkawinan. Usaha ini nampak dalam berbagai bentuk perumusan dan penetapan konsep resmi Gereja Katolik mengenai perkawinan. Konsep-konsep Gereja ini bersifat dinamis sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman.
Salah satu dokumen resmi Gereja yang berbicara tentang konsep-konsep resmi Gereja Katolik tentang perkawinan Kristiani adalah Konstitusi Gaudium et Spes. Gagasan tentang tujuan perkawinan menurut dokumen Konsili Vatikan II inilah yang akan disoroti di sini. Sebab gagasan ini diikuti oleh Kan.1055. par. 1 mengenai tujuan perkawinan yang lebih personal, spiritual, dan kaya akan nilai-nilai insani.
Selanjutnya gagasan tentang tujuan perkawinan Katolik ini akan dikonfrontasikan dengan tujuan perkawinan dalam masyarakat adat Bajawa (Ngada, Flores, NTT). Dari perbandingan kedua macam konsep mengenai tujuan perkawinan ini akan dilihat titik temu dan titik pisahnya untuk menjawab pertanyaan: sejauh mana masyarakat adat Bajawa telah menghayati konsep resmi Kristen mengenai tujuan perkawinan kristiani menurut Konstitusi Gaudium et Spes yang diafirmasi di dalam Kitab Hukum Kanonik?
1. Tujuan Perkawinan Kristen Menurut Gaudium Et Spes
1.1. Pandangan Tradisional mengenai Tujuan Perkawinan Kristiani
Pandangan tradisional tentang perkawinan amat menggarisbawahi tujuan utama (Finis Primarius) dari perkawinan yaitu prokreasi atau pengadaan anak/keturunan. Sedangkan cinta konyugal atau cinta perkawinan menjadi tujuan sekunder (finis secundarius) dalam perkawianan. Kedua tujuan ini bukan sekedar distingtif secara terminologis tetapi lebih dari itu menunjukkan pemahaman yang berat sebelah tentang perkawinan. Bahwa tindakan persetubuhan dianggap benar sejauh ada kemungkinan bagi pembuahan. Dengan kata lain, persetubuhan hanya boleh untuk mengadakan anak. Konsekuesinya, tindakan pesetubuhan tidak lagi dilihat sebagai pernyataan cinta interpersonal.
Jelaslah bahwa pandangan-pandangan lama ini toh tidak bisa menjawabi persoalan-persoalan baru yang muncul dalam kehidupan perkawinan. Bahwa soal kemandulan di satu pihak tapi pada pihak lain ikatan perkawinan tetap harmonis atau intervensi teknis untuk tidak mendapatkan anak dan di lain pihak tidak menghalangi persekutuan mesra suami-istri adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Karenanya butuh suatu pandangan yang yang lebih dinamis. Benar, bahwa mendapatkan anak merupakan suatu kesempurnaan dalam perkawinan. Tapi hal ini tidak mengurangi nilai yang amat fundamental yaitu cinta kasih dalam perkawinan. Apalagi keibu-bapaan yang bertanggung jawab merupakan terminologi baru bagi pemahaman yang lebih integral mengenai pendapat yang punya implikasi bagi pelaksanaan keluarga berencana. Karena itu, pernyataan cinta interpersonal dan mendapatkan anak dilihat sama penting, tak dapat dipisahkan satu sama lain. Faktor keturunan dan cinta menjadi satu kesatuan yang utuh, sempurna dalam perkawinan.
1.2. Pendekatan Baru dalam Gaudium et Spes
Gaudium et Spes menekankan dua aspek dasar perkawinan yaitu perkawinan sebagai realitas humana (suatu gagasan yang lebih universal karena menyangkut kenyataan yang manusiawi) dan perkawinan sebagai realitas Kristen (gagasan yang secara teologis agak eksklusif ketimbang yang pertama meskipun dalam banyak hal tampak dimensi universalnya). Sebagai realitas humana Gaudium et Spes sebenarnya menyajikan konsep-konsep sosiologis tentang perkawinan. Sedangkan sebagai realitas Kristen, Gaudium et Spes menyodorkan pemahaman-pemahaman Teologi Kristen tentang perkawinan.
Perkawian digambarkan sebagai realitas hubungan interpersonal dan bersifat totalitas-integral (menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia). Terminologi baru ini mengungkapkan suatu gagasan yang jauh lebih luas mengenai perkawinan sebagai persekutuan dan cinta. Dengan demikian, bahasa hukum (term kontrak) diganti dengan bahasa biblis (perjanjian) yang lebih terbuka kepada tafsiran personalis. Demikian pula halnya dengan term “hak eksklusif” diganti dengan term “kesetiaan total.” Sedangkan tem “ketakterceraikan” diganti dengan term “persekutuan yang takterceraikan.”
Gagasan lama mengenai hubungan seksual yang berat sebelah ditafsirkan kembali. Suatu perbuatan tidak dinilai sendiri-sendiri. Karenanya konteks perkawinan yang melihat hubungan seksual melulu mesti terbuka kepada kehidupan baru diganti dengan pemahaman yang lebih integralistis. Patnership dilihat sebagai persekutuan dalam kesetiaan yang komprehensif yang terbuka kepada kehidupan baru. Dengan kata lain, persekutuan dalam cinta terbuka kepada kehidupan baru. Pengadaan anak-anak adalah akibat dari persekutuan cinta, atau akibat dari “keibu-bapaan yang bertanggung jawab” (ungkapan lain untuk cinta) merupakan alasan mengadakan anak. Maka, bahasa tujuan primer dan tujuan sekunder tidak dipakai lagi.
Pandangan seperti itu mengandaikan adanya suatu peralihan pemahaman sosio-kultural yang melatarbelakingi Gaudium et Spes yaitu dari “rumah hierarkis” kepada “keluarga organis.” Sampai dengan tulisan Pius XI (casti Connubii tahun 1930), pandangan lama masih kuat pengaruhnya bahwa rumah tangga yang bersifat hierarkis dan patriarkis adalah pola kultural di belakang ajaran Gereja. Hak-hak ada pada bapa sebagai kepala keluarga, sedangkan ibu sebagai “hati rumah tangga” yang siap melayani. Di dalam Gaudium et Spes, pola organis rupanya diandaikan. Sebagai misal, ada ungkapan seperti bapa dan ibu, suami dan istri. Keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Peranan mereka berbeda tapi saling bergantung satu sama lain. Kekuasaan dalam keluarga tidak hanya ada pada kepala keluarga, tetapi disesuaikan dengan fungsi dan tempat di dalam keluarga, di mana setiap anggota punya otoritas terbatas pada fungsi masing-masing. Tekanan etis tidak lagi pada ketaatan tetapi pada kerja sama. Jadi, peralihan atau perubahan pemahaman seperti ini adalah jawaban konsili atas perubahan sosial dunia.
2. Perkawinan Menurut Masyarakat Adat Bajawa.
Sebelum diuraikan tentang perkawinan adat Bajawa, terlebih dahulu dibahas tentang perkawinan adat pada umumnya secara sekilas.
2.1. Perkawinan Adat Flores pada Umumnya
2.1.1. Makna Perkawinan Adat
Para leluhur telah mewariskan kepada kita tradisi perkawinan dan hidup keluarga yang luhur dan harmonis. Perkawinan tradisional juga mempunyai makna yang mendalam. Konsep perkawinan sebagai persatuan yang subur dan harmonis antara suami dan istri kiranya merupakan suatu bentuk partisipasi aktif dan simbol yang kelihatan dari persatuan atau perkawinan antara unsur-unsur semesta yaitu perkawinan antara unsur pria dari langit di atas dan unsur wanita dari bumi, sebagai dua unsur ilahi yang takterpisahkan dan saling melengkapi. Di sini, perkawinan dilihat sebagai yang menggambarkan dan menandakan sesuatu yang hakiki dari Yang Takterbatas. Yang Takterbatas ini sering dilihat sebagai Bapa langit dan Ibu bumi yang melahirkan segala yang ada dan sumber segala kesuburan dan keharmonisan.
Perkawinan semesta yang bersifat Ilahi itu secara tetap adalah subur dan harmonis, sehingga menjadi model dan contoh bagi setiap hubungan perkawinan antara dua orang atau antara dua keluarga besar. Dan tugas religius yang tertinggi dari hubungan perkawinan ini adalah kesetiaan menghadirkan persatuan antara unsur-unsur semesta di atas dan dengan cara apapun harus memelihara “kesuburan” dan “keharmonisan” hidup. Terkait dengan hal ini, masyarakat Flores adalah masyarakat agraris yang sangat menghargai makna kesuburan sebagai suatu unit produktif.
Keluarga produktif adalah keluarga yang pada dasarnya mengolah warisannya (tanah dan sebagainya) untuk memperoleh nafkah hidup. Mereka hidup dari memproduksi warisan. Jadi, unit keluarga ini merupakan suatu unit ekonomis.
Hukum adat tentang warisan tanah dan hukum adat tentang belis (perpindahan wanita pada suku lain) saling terkait satu sama lain. Seluruh sistem nilai keluarga produktif termasuk makna, tujuan, hak dan kewajiban sangat ditentukan oleh bentuk dasar produktif ini.
Karena nilai-nilai keluarga produktif masyarakat agraris ini terarah pada kesuburan dan penggandaan harta (anak dan kekayaan), maka tujuan keluarga produktif adalah mempertahankan dan memperluas rumah serta keturunan.
2.1.2. Unsur-unsur Perkawinan Adat
2.1.2.1. Persetujuan Kedua Belah Pihak (timbal-balik)
Sudah menjadi tradisi bahwa suatu perkawinan bisa terwujud jika ada kesepakatan kedua belah pihak, baik secara pribadi maupun melibatkan keluarga besar. Kedua pihak berkumpul dan merundingkan untuk menentukan “belis” (mas kawin). Dalam perundingan itu tentu ada pihak-pihak yang berhak menentukan serta mengurus jalan dan prosesnya seturut adat dan sistem perkawinan yang berlaku di daerah masing-masing. Urusan adat perkawinan ini dijalankan hingga kedua calon menikah.
2.1.2.2. Penyerahan Belis
Unsur ini harus dipenuhi oleh pihak yang dikenai belis (mas kawin). Makna dan pengertian “belis” berbeda-beda untuk masing-masing daerah. Ada yang mengartikan “belis” sebagai sarana untuk membeli perempuan, ada juga yang mengartikan sebagai penghargaan atau imbalan kepada kedua orang tua dari kedua belah pihak. Sedangkan besarnya belis yang akan diserahkan juga tergantung dari sistem perkawinan yang berlaku. Belis tersebut dapat diserahkan sekaligus dan ada pula yang bertahap berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak dan menurut adat yang berlaku.
2.1.3. Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan pokok dari perkawinan adat adalah mendapatkan keturunan terutama anak laki-laki pada daerah yang menganut sistem patriarkat. Anak laki-laki inilah yang diharapkan akan meneruskan nama keluarga ayahnya. Di sisi lain, pada sistem perkawinan matriarkat, yang dikejar dalam perkawinan adalah anak wanita, karena melalui dia keturunan ibunya akan diteruskan dan diperkuat. Jelas bahwa perkawinan adat sangat menjujung tinggi nilai kesuburan. Jika perkawinan tidak mendapatkan anak, maka bagi sebagian orang perkawinan tersebut dianggap gagal.
2.1.4. Ciri-ciri Perkawinan Adat
Dalam tradisi perkawinan adat, terdapat dua ciri yang paling menonjol. Pertama, perkawinan adat menekankan proses. Artinya, perkawinan dilihat sebagai suatu proses yang ditandai dengan urusan “belis” yang berkesinambungan. Perkawinan bukan hanya suatu upacara atau suatu kontrak yang terjadi pada suatu saat, melainkan suatu peristiwa sepanjang hidup dari suami-istri dalam hubungannya dengan keluarga besarnya. Proses ini sepertinya berpuncak pada saat kedua orang yang menikah itu boleh mengalami masa tua, dikelilingi oleh anak dan cucu dan mengalami keharmonisan.
Kedua, perkawinan adat sangat menekankan segi sosial dari perkawinan. Dalam perkawinan tradisional, urusan perkawinan merupakan urusan semua keluarga. Kepentingan keluarga sangat menentukan pilihan jodoh, dan kepala keluargalah yang mengurus perkawinan anak-anaknya. Mereka yang baru menikah harus menyesuaikan diri dengan keluarga besar, karena keluarga besarlah yang memberikan pekerjaan, warisan, perlindungan dan kekuatan kepada mereka.
2.2. Perkawinan Adat Bajawa
2.2.1. Arti dan Makna Perkawinan Adat Bajawa
Arti dan makna perkawinan dalam masyarakat Bajawa dapat dibaca dalam kata-kata kunci yang diapakai pada saat perkawinan adat. Salah satu kata kunci yang dipakai adalah “Buri Peka Naja, Logo Bei Ube” (pantat telah menyentuh lantai dan pungung pun telah bersadar pada dinding). Buri adalah “pantat,” peka “menyentuh,” naja berarti “pelupu yang menjadi lantai rumah adat.” “Buri” ini menjadi simbol pria, “Naja” adalah simbol wanita yang menjadi calon istri. “logo’ adalah punggung yang menajdi simbol pria. Sedangkan “ube” adalah dinding papan rumah adat sebagai simbol wanita calon istri yang menjadi pemilik rumah dan pemilik ketangguhan dan keselamatan hidup.
Dari penafsiran atas ungkapan ini dapat disimpulkan bahwa menurut adat Bajawa, perkawinan merupakan persatuan kedua insan yang berbeda jenis kelamin untuk membangun kehidupan bersama dalam keselamatan dan tangguh dalam menumbuhkan keturunan mereka. “Buri peka naja, Logo bei ube” adalah simbol perkawinan tradisional Bajawa untuk meyatukan kedua insan yang berbeda jenis kelamin yang telah membentuk kehidupan dalam satu rumah.
2.2.2. Sistem Perkawinan Adat Bajawa
2.2.2.1. Ditinjau dari segi suku
Ditinjau dari segi suku ada dua sistem perkawinan Adat. Pertama, sistem perkawian endogami. Menurut sistem ini perkawinan terjadi di antara sesama kesatuan masyarakat hukum adat atau marga yang sering disebut “go sama one” baik untuk lingkup “woe” (kelompok masyarakat adat yang lebih kecil dari suku), maupun dengan sesama anggota kampung yang artinya masih keluarga jauh. Tujuaannya pernikahan jenis ini ada dua:
1) Kago sama sao wea nao mae galo: artinya, perkawinan di antara anggota suku sendiri guna menghindari belis atau mas kawin. Perkawinan jenis ini sering terjadi antara saudara sebuyut. Tujuannya, untuk memperteguh hak dan kewajiban dalam kesatuan masyarakat hukum adat.
2) Po Tolo Kobho Nau Wawo Ngima: perkawinan di dalam sesama dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang segeneologis (woe). Tujuannya, juga tetap sama yakni menjaga agar harta benda tidak mengalir pihak lain melalui belis.
Kedua, sistem perkawinan eksogami. Artinya, perkawinan yang dilakukan antara kedua pasangan dari kesatuan teritorial yang lebih luas dari kampung halaman sendiri. Perkawinan dengan sistem ini disebut “kadhi bata.” Sistem ini juga tetap berpegang pada prinsip bahwa pasangan tetaplah seasal, sedarah, seketurunan dari kelurga yang telah lama melakukan perkawinan ke luar. Intinya, tetap sama yakni perkawinan dilakukan di antara keluarga sendiri.
2.2.2.2. Dilihat dari Segi Rumah
Dari segi ini juga dikenal dua jenis perkawinan. Pertama, perkawinan “dii sao” merupakan bentuk perkawinan yang lazim terjadi. Bentuk perkawinan ini sesuai dengan sistem kekerabatan matilineal menurut garis keturunan ibu. Di sini, wanita menjadi ahli waris atas semua harta milik dari keluarga di mana wanita itu tinggal. Dari bentuk perkawinan ini, suami menjadi pendatang dalam rumah istrinya atau yang dikenal dengan nama “ana ngodho mai.” Suami datang, tinggal dan bekerja di rumah istrinya. Sebagai pendatang, suami tidak terhitung sebagai anggota rumah dan tak mempunyai hak atas semua harta warisan yang ada di dalam rumah istrinya. Yang berhak adalah istrinya, sedangkan pengaturannya diurus oleh saudara istrinya. Relasi kunci yang terjadi di sini adalah relasi “paman-anak” dan bukan “bapak-anak.” Masa depan anak-anak, hasil perkawinan “dii sao” bukan berada di tangan ayahnya, tetapi berada di tangan pamannya.
Kedua, perkawinan “pasa” atau belis. Perkawinan “pasa” adalah bentuk perkawinan di mana istri dibelis oleh pihak keluarga suami. Anak-anak hasil perkawinan ini mengikuti garis keturunan bapak, memiliki hak atas harta warisan ayah. Namun, mereka tetap harus taat kepada anak-anak saudari ayahnya, jika ada. Akan tetapi, biasanya sangat jarang karena perkawinan jenis ini dilakukan bila di dalam rumah sang ayah tidak ada saudari yang berhak atas segala warisan di dalam rumah tersebut.
2.2.3. Tahap-tahap Perkawinan Adat Bajawa
2.2.3.1. Tahap Perkenalan dan Pacaran (Papa Tei Tewe Moni Neni)
Tahap ini merupakan tahap mencari jodoh yang dilakukan sendiri oleh sang pria. Hasil temuannya disampaikan kepada orang tuanya untuk diproses lebih lanjut dengan tata urusan yang mulai melibatkan keluarga besar dan anggota suku. Pada tahap ini ada beberapa sub-tahap yang harus dilewati lagi.
a. Beku Mebhu Tana Tigi (hancurnya dedaunan di sepanjang jalan dan padatnya tanah yang sering dilalui). Disebut demikian karena inilah yang dinamakan dengan tahap penjajakan yang bukan dilakukan oleh pemuda kepada pacarnya, tetapi oleh ibunya. Ibu sang pemudalah yang aktif ke rumah calon besannya untuk menjajaki kenyataan perilaku dan sifat gadis idaman anaknya dan berupaya mendapatkan kepastian apakah gadis yang bersangkutan sungguh-sunguh bebas dari incaran pria lain selain putranya.
b. Bere Tere Oka Pale (meletakan tempat untuk sekapur sirih). Inilah tahap peminangan atau melamar. Di sini, pihak lelaki mengutus duta peminangannya yang terdiri dari saudari kandung dan beberapa wanita lainnya yang dianggap layak dan mampu bersekapur – sirih dengan pihak gadis pinangan dan keluarganya. Hal ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk diketahui oleh seisi kampung bahwa gadis itu telah dipinang (dilamar). Acara ini dilakukan dengan penuh persaudaraan dan keakraban sebagai suatu kerabat yang saling menerima dalam satu ikatan.
c. Nasa. Berarti, kedua calon suami-istri menjalankan pencocokan tingkah laku atau tahap penyamaan persepesi, visi dan misi, sebelum menikah secara adat. Masa ini boleh disebut sebagai masa pertunanganan.
d. Zeza: yang merupakan upacara peresmian atau pengesahan perkawinan secara adat. Dalam upacara zeza ini akan dilakukan beberapa ritus pokok:
1. Zia Ura Ngana. Pada waktu ritus ini, babi dan beras diletakkan pada tempat yang sama lalu didoakan oleh tua adat kemudian dimasak untuk dimakan dalam acara tersebut. Setelah beras dan babi diletakan di depan pintu rumah adat, didoakan oleh tua adat, kedua calon diminta untuk duduk di “mata raga” (altar korban dalam rumah adat) yang diapiti oleh sanak saudara dari kedua belah pihak. Saudara pengantin wanita diminta untuk membawa babi dan beras yang disimpan di atas kepala babi sambil berkata sebagai berikut: “zia ura ngana dia, tewe dia da buri peka naja, logo bei ube, wi zeza ana kami (....nama), ulu wi tutu, kage wi gebhe huy nee maki zeza (fai nee hak) wi moe go wea da lala dhape, dua wi penga dua, nuka wi penga nuka. Tee setoko, lani setebu,kami wi bhe nee nitu zale ngadhu nee bhaga, sus keri asa kae nusi nange kajo pera, ine ame mai wi dii utu meda mogo, padha wi meze aze, wi lewa pipi wi mae isi, pasu wi mae nau, wiwi le gaja rae, zala wigoda gai. Ngana kau bhara ura zia,pedhu benu lie seko, kau ba se gebu, ketu kau ba le todho ngadho, kabu peda kau ba le teme. Wiwi kau ba le gaja rae. Dia jao wela kau seteka mata mema.” Artinya: “sucilah seluruh makanan ini di saat upacara pernikahan anak kami (nama kedua mempelai) ini, yang kami hadirkan ya Penguasa lagit dan bumi, Leluhur terpokok Oba dan Ngana, leluhur pokok turunan Teru dan Tena, leluhur pokok pria dan wanita dari kesatuan masyarakat hukum adat ini, para pelindung rumah leluhur, pemberi ajaran dan pengetahuan. Para orang tua yang telah tiada untuk bersama kami menyaksikan guna melindungi mereka bagi persatuannya yang agung berkelanjutan untuk mejadi suami-istri yang bersatu padu takterceraikan seakan emas yang disepuh-leburkan jadi satu. Sekiranya permohonan kami ini berkenan di hati kalian, para leluhur dan pra orang tua. Tunjukkanlah pada urat-urat hati babi ini, yakni empedunya penuh, buah kecipirnya serangkai dengan hati tanda kewibawaan berkekuatan tegaknya...)
2. pengurapan darah babi pada pengantin: darah babi yang dioleskan di dahi merupakan penegasan seorang laki-laki memasuki rumah wanita. Hal ini didasarkan atas sistem perkawinan matriarkat yang berakibat bahwa wanita yang berperan sebagai penguasa sedangkan suami sebagai pembantu. Saat pengurapan dengan darah babi, tua adat mengucapkan kata-kata: “dia wi toro papa bhoko, mite mata raga da toa gha nee ulu beo gha nee eko.” Artinya: “anak lelaki ini kini diserahkan sebagai suami anak kita (nama penganti wanita tersebut) dan menjadi pembantu dalam rumah ini.” Dengan upacara ini seeorang pria yang menjadi calon suami si gadis resmi menjadi suami si gadis untuk seterusnya bersama istrinya mengatur kehidupan bersama dalam keluarga.
3. Tota ura ngana: untuk membaca kehendak penguasa langit dan bumi dan para leluhur guna membimbing, melindungi pengantin sesuai dengan permohonan yang diharapkan dalam pengucapan doa.
4. Bau gae: persembahan atau penyajian yang suci kepada penguasa langit dan bumi dan para luluhur sekaligus memohon perlindungan dan naungan itu.
5. Zeza: pemberian makan makanan utama berupa daging babi dan nasi yang disucikan kepada pengantin lelaki sebagai ujud untuk sudah boleh hidup bersama.
6. Ritus Penutup: acara penutup sering disebut dengan “Ka toka inu sobhe, lese dhe peda pawe.” Yang merupakan makan bersama penutup bagi semua yang hadir pada upacara tersebut.
Biasanya setelah semua proses ini berlangsung, dengan sendirinya kedua mempelai ini boleh tinggal serumah, tidur bersama dan melakukan aktivitas layaknya sebagai suami-istri tanpa terlebih dahulu mengesahkan perkawinannya di Gereja. Perkawinan adat ini masih berpengaruh kuat sampai dengan saat ini. Hukum Adat dan Hukum Gereja masih kelihatan sama kuatnya. Karena itu, perlu dilihat sikap-sikap yang tepat untuk mengatasi hal ini.
2.2.4. Sifat Perkawinan Adat Bajawa
Dari kata-kata doa dan nasehat serta simbol-simbol yang digunakan dapat dikatakan bahwa perkawianan adat Bajawa bersifat monogam dan takterceraikan. Hal ini terbukti pada saat upacara perkawinan adat di mana bahasa-bahasa adat yang digunakan pada saat peresmian perkawinan tersebut berbunyi “yang senantiasa bersatu dan takterceraikan.”
3. Sikap yang Tepat Terhadap Warisan Budaya
Terhadap warisan budaya lokal sebelum adanya kristianitas, ada beberapa sikap yang bisa ditempuh oleh insan beriman kristiani berhadapan dengan budayanya:
a. Menerima seluruh proses perkawinan adat setempat sebagai sesuatu yang dianggap penting juga sebelum diresmikan secara sakramental.
b. Kita juga bisa secara relistis mengevaluasi dan melihat bahwa mungkin saja proses itu sudah tidak bisa dihayati secara penuh dan perlu diakui perubahan yang disebabkan oleh modernisasi yang juga membawa nilai baru seperti penghargaan, pathnership, dan cinta personal yang semuanya ini kurang begitu tampak dalam perkawinan adat Bajawa.
c. Dari segi hukum, kita harus juga mencoba untuk mencari tempat yang cocok untuk mengintegrasikan tuntutan hukum gereja ke dalam proses perkawinan adat tersebut.
d. Dari segi iman dan sakramentalitas perkawinan: seluruh proses dan segala aspek serta perubahan-perubahannya sepenuhnya kita serahkan kepada Kristus. Ia akan menyembuhkan dari segala dosa egoisme serta pelbagai pengaruh, kemudian mengembangkannya dalam opsi Kerajaan Allah. Secara konkret hal ini berarti kita harus mempertemukan dan dengan bantuan rahmat Allah untuk memurnikan proses perkawinan dan pelaksanaannya menjadi suatu Sakramen Kerajaan Allah.
4. Penutup
Jelaslah bahwa perkawinan adat Bajawa sesempurna apapun dan walaupun sifatnya sudah sangat mengikat, monogam dan takterceraikan, tetap bukan merupakan sebuah sakramen. Karena itu, di akhir semua tahap tersebut sebaiknya dipikirkan juga untuk sesegera mungkin menindaklajutinya dengan proses-proses yang lazim dalam tahap-tahap perkawinan Kristiani agar perkawinan tersebut bernilai sakramntal dan bukan hanya menjadi realitas manusiawi belaka.
Segi personalitas kurang tampak di dalam perkawinan adat Bajawa. Yang dominan adalah segi sosialnya. Kesepakatan tibal-balik antara kedua pasangan dan bukan hanya “antara kedua pihak keluarga” harus lebih ditonjolkan lagi. Sebab perkawinan Kristiani lebih menuntut kesepakatan timbal-balik dari masing-asing pasangan dengan hati yang bebas dan bukan karena tekanan sosial oleh keluarga dan masayrakat adat.
Perkawinan adat Bajawa yang bercorak matriarkat melahirkan pola relasi suami-istri yang tidak adil. Artinya, pola realasi istri sebagai tuan sedangkan suami sebagai pembantu. Hal ini tidak sejalan dengan semangat perkawinan Kristiani seperti yang terungkap dalam Gaudium et Spes tentang unsur patnership dalam membangun hidup bersama.
Tanggung jawab atas pendidikan anak juga kurang menjadi fokus perhatian dalam perkawinan adat Bajawa. Anak masih dilihat sebagai aset keluarga dan tenaga kerja baru dalam unit produksi keluarga. Karena itu, perlu diindahkan harapan Konsili Vatikan II yang tertuang dalam Gaudium et Spes tentang tujuaan perkawinan Kristiani dan yang ditegaskan lagi dalam KHK 1055, par.1 tentang tujuan perkawinan yakni: kesejahteraan suami istri & kesejahteraan anak: kelahiran dan pendidikan anak.
Daftar Bacaan
Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 7 Desember 1965 (no.47-52)
Kitab Hukum Kanonik (Edisi Resmi Bahasa Indonesia), Sekretariat KWI (ed.), cet. ke-1, KWI, Jakarta, 2006.
Catur raharso Alfonsus, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik, Dioma, Malang, 2006.
Groenen, C, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Jogyakarta, 1993.
Koningsman Josef, Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik, Nusa Indah, 1987.
Komlit KWI, Perkawinan Kristen, Kanisius, Jogjakarta, 1987.
Hadiwardoyo Al, Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Kanisius, cet. ke-3, 1991
Daeng Hans, Antropologi Budaya, Nusa Indah, cet. ke-2, Ende, 1986.
Papo Yakob, Moral Kristiani, Puspas, Ende, 1987
Dikutip dari : http://marcelsmm.multiply.com/
3 comments:
Apakah ada penceraian adat dalam budaya ngada?
Apakah ada penceraian adat dalam budaya ngada?
Apakah ada penceraian adat dalam budaya ngada?
Posting Komentar