Minggu, 29 April 2012

Tinjauan Kritis Atas Paham Perkawinan Menurut Masyarakat Adat Bajawa Dalam Terang Ajaran Gereja Katolik

Perkawinan merupakan suatu realitas yang amat fundamental dan eksitensial pada manusia. Fakta historis membuktikan bahwa realitas perkawinan sudah ada sejak manusia ada. Oleh karena itu, kehidupan perkawinan telah secara amat mendalam mewarani dan menjiwai seluruh arus perjalanan sejarah hidup umat manusia hingga dewasa ini. Lembaga perkawinan ini penting guna menjamin kontinuitas eksistensi generasi umat manusia di bumi ini.

Menyadari dalamnya nilai kodrati perkawinan maka Gereja Katolik sejak awal abad II sampai saat ini berusaha untuk mengangkat tinggi nilai luhur perkawinan. Usaha ini nampak dalam berbagai bentuk perumusan dan penetapan konsep resmi Gereja Katolik mengenai perkawinan. Konsep-konsep Gereja ini bersifat dinamis sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman.

Salah satu dokumen resmi Gereja yang berbicara tentang konsep-konsep resmi Gereja Katolik tentang perkawinan Kristiani adalah Konstitusi Gaudium et Spes. Gagasan tentang tujuan perkawinan menurut dokumen Konsili Vatikan II inilah yang akan disoroti di sini. Sebab gagasan ini diikuti oleh Kan.1055. par. 1 mengenai tujuan perkawinan yang lebih personal, spiritual, dan kaya akan nilai-nilai insani.

Selanjutnya gagasan tentang tujuan perkawinan Katolik ini akan dikonfrontasikan dengan tujuan perkawinan dalam masyarakat adat Bajawa (Ngada, Flores, NTT). Dari perbandingan kedua macam konsep mengenai tujuan perkawinan ini akan dilihat titik temu dan titik pisahnya untuk menjawab pertanyaan: sejauh mana masyarakat adat Bajawa telah menghayati konsep resmi Kristen mengenai tujuan perkawinan kristiani menurut Konstitusi Gaudium et Spes yang diafirmasi di dalam Kitab Hukum Kanonik?

1. Tujuan Perkawinan Kristen Menurut Gaudium Et Spes

1.1. Pandangan Tradisional mengenai Tujuan Perkawinan Kristiani


Pandangan tradisional tentang perkawinan amat menggarisbawahi tujuan utama (Finis Primarius) dari perkawinan yaitu prokreasi atau pengadaan anak/keturunan. Sedangkan cinta konyugal atau cinta perkawinan menjadi tujuan sekunder (finis secundarius) dalam perkawianan. Kedua tujuan ini bukan sekedar distingtif secara terminologis tetapi lebih dari itu menunjukkan pemahaman yang berat sebelah tentang perkawinan. Bahwa tindakan persetubuhan dianggap benar sejauh ada kemungkinan bagi pembuahan. Dengan kata lain, persetubuhan hanya boleh untuk mengadakan anak. Konsekuesinya, tindakan pesetubuhan tidak lagi dilihat sebagai pernyataan cinta interpersonal.

Jelaslah bahwa pandangan-pandangan lama ini toh tidak bisa menjawabi persoalan-persoalan baru yang muncul dalam kehidupan perkawinan. Bahwa soal kemandulan di satu pihak tapi pada pihak lain ikatan perkawinan tetap harmonis atau intervensi teknis untuk tidak mendapatkan anak dan di lain pihak tidak menghalangi persekutuan mesra suami-istri adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Karenanya butuh suatu pandangan yang yang lebih dinamis. Benar, bahwa mendapatkan anak merupakan suatu kesempurnaan dalam perkawinan. Tapi hal ini tidak mengurangi nilai yang amat fundamental yaitu cinta kasih dalam perkawinan. Apalagi keibu-bapaan yang bertanggung jawab merupakan terminologi baru bagi pemahaman yang lebih integral mengenai pendapat yang punya implikasi bagi pelaksanaan keluarga berencana. Karena itu, pernyataan cinta interpersonal dan mendapatkan anak dilihat sama penting, tak dapat dipisahkan satu sama lain. Faktor keturunan dan cinta menjadi satu kesatuan yang utuh, sempurna dalam perkawinan.

1.2. Pendekatan Baru dalam Gaudium et Spes

Gaudium et Spes menekankan dua aspek dasar perkawinan yaitu perkawinan sebagai realitas humana (suatu gagasan yang lebih universal karena menyangkut kenyataan yang manusiawi) dan perkawinan sebagai realitas Kristen (gagasan yang secara teologis agak eksklusif ketimbang yang pertama meskipun dalam banyak hal tampak dimensi universalnya). Sebagai realitas humana Gaudium et Spes sebenarnya menyajikan konsep-konsep sosiologis tentang perkawinan. Sedangkan sebagai realitas Kristen, Gaudium et Spes menyodorkan pemahaman-pemahaman Teologi Kristen tentang perkawinan.

Perkawian digambarkan sebagai realitas hubungan interpersonal dan bersifat totalitas-integral (menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia). Terminologi baru ini mengungkapkan suatu gagasan yang jauh lebih luas mengenai perkawinan sebagai persekutuan dan cinta. Dengan demikian, bahasa hukum (term kontrak) diganti dengan bahasa biblis (perjanjian) yang lebih terbuka kepada tafsiran personalis. Demikian pula halnya dengan term “hak eksklusif” diganti dengan term “kesetiaan total.” Sedangkan tem “ketakterceraikan” diganti dengan term “persekutuan yang takterceraikan.”

Gagasan lama mengenai hubungan seksual yang berat sebelah ditafsirkan kembali. Suatu perbuatan tidak dinilai sendiri-sendiri. Karenanya konteks perkawinan yang melihat hubungan seksual melulu mesti terbuka kepada kehidupan baru diganti dengan pemahaman yang lebih integralistis. Patnership dilihat sebagai persekutuan dalam kesetiaan yang komprehensif yang terbuka kepada kehidupan baru. Dengan kata lain, persekutuan dalam cinta terbuka kepada kehidupan baru. Pengadaan anak-anak adalah akibat dari persekutuan cinta, atau akibat dari “keibu-bapaan yang bertanggung jawab” (ungkapan lain untuk cinta) merupakan alasan mengadakan anak. Maka, bahasa tujuan primer dan tujuan sekunder tidak dipakai lagi.

Pandangan seperti itu mengandaikan adanya suatu peralihan pemahaman sosio-kultural yang melatarbelakingi Gaudium et Spes yaitu dari “rumah hierarkis” kepada “keluarga organis.” Sampai dengan tulisan Pius XI (casti Connubii tahun 1930), pandangan lama masih kuat pengaruhnya bahwa rumah tangga yang bersifat hierarkis dan patriarkis adalah pola kultural di belakang ajaran Gereja. Hak-hak ada pada bapa sebagai kepala keluarga, sedangkan ibu sebagai “hati rumah tangga” yang siap melayani. Di dalam Gaudium et Spes, pola organis rupanya diandaikan. Sebagai misal, ada ungkapan seperti bapa dan ibu, suami dan istri. Keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Peranan mereka berbeda tapi saling bergantung satu sama lain. Kekuasaan dalam keluarga tidak hanya ada pada kepala keluarga, tetapi disesuaikan dengan fungsi dan tempat di dalam keluarga, di mana setiap anggota punya otoritas terbatas pada fungsi masing-masing. Tekanan etis tidak lagi pada ketaatan tetapi pada kerja sama. Jadi, peralihan atau perubahan pemahaman seperti ini adalah jawaban konsili atas perubahan sosial dunia.

2. Perkawinan Menurut Masyarakat Adat Bajawa.

Sebelum diuraikan tentang perkawinan adat Bajawa, terlebih dahulu dibahas tentang perkawinan adat pada umumnya secara sekilas.

2.1. Perkawinan Adat Flores pada Umumnya

2.1.1. Makna Perkawinan Adat


Para leluhur telah mewariskan kepada kita tradisi perkawinan dan hidup keluarga yang luhur dan harmonis. Perkawinan tradisional juga mempunyai makna yang mendalam. Konsep perkawinan sebagai persatuan yang subur dan harmonis antara suami dan istri kiranya merupakan suatu bentuk partisipasi aktif dan simbol yang kelihatan dari persatuan atau perkawinan antara unsur-unsur semesta yaitu perkawinan antara unsur pria dari langit di atas dan unsur wanita dari bumi, sebagai dua unsur ilahi yang takterpisahkan dan saling melengkapi. Di sini, perkawinan dilihat sebagai yang menggambarkan dan menandakan sesuatu yang hakiki dari Yang Takterbatas. Yang Takterbatas ini sering dilihat sebagai Bapa langit dan Ibu bumi yang melahirkan segala yang ada dan sumber segala kesuburan dan keharmonisan.

Perkawinan semesta yang bersifat Ilahi itu secara tetap adalah subur dan harmonis, sehingga menjadi model dan contoh bagi setiap hubungan perkawinan antara dua orang atau antara dua keluarga besar. Dan tugas religius yang tertinggi dari hubungan perkawinan ini adalah kesetiaan menghadirkan persatuan antara unsur-unsur semesta di atas dan dengan cara apapun harus memelihara “kesuburan” dan “keharmonisan” hidup. Terkait dengan hal ini, masyarakat Flores adalah masyarakat agraris yang sangat menghargai makna kesuburan sebagai suatu unit produktif.

Keluarga produktif adalah keluarga yang pada dasarnya mengolah warisannya (tanah dan sebagainya) untuk memperoleh nafkah hidup. Mereka hidup dari memproduksi warisan. Jadi, unit keluarga ini merupakan suatu unit ekonomis.

Hukum adat tentang warisan tanah dan hukum adat tentang belis (perpindahan wanita pada suku lain) saling terkait satu sama lain. Seluruh sistem nilai keluarga produktif termasuk makna, tujuan, hak dan kewajiban sangat ditentukan oleh bentuk dasar produktif ini.

Karena nilai-nilai keluarga produktif masyarakat agraris ini terarah pada kesuburan dan penggandaan harta (anak dan kekayaan), maka tujuan keluarga produktif adalah mempertahankan dan memperluas rumah serta keturunan.

2.1.2. Unsur-unsur Perkawinan Adat

2.1.2.1. Persetujuan Kedua Belah Pihak (timbal-balik)


Sudah menjadi tradisi bahwa suatu perkawinan bisa terwujud jika ada kesepakatan kedua belah pihak, baik secara pribadi maupun melibatkan keluarga besar. Kedua pihak berkumpul dan merundingkan untuk menentukan “belis” (mas kawin). Dalam perundingan itu tentu ada pihak-pihak yang berhak menentukan serta mengurus jalan dan prosesnya seturut adat dan sistem perkawinan yang berlaku di daerah masing-masing. Urusan adat perkawinan ini dijalankan hingga kedua calon menikah.

2.1.2.2. Penyerahan Belis

Unsur ini harus dipenuhi oleh pihak yang dikenai belis (mas kawin). Makna dan pengertian “belis” berbeda-beda untuk masing-masing daerah. Ada yang mengartikan “belis” sebagai sarana untuk membeli perempuan, ada juga yang mengartikan sebagai penghargaan atau imbalan kepada kedua orang tua dari kedua belah pihak. Sedangkan besarnya belis yang akan diserahkan juga tergantung dari sistem perkawinan yang berlaku. Belis tersebut dapat diserahkan sekaligus dan ada pula yang bertahap berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak dan menurut adat yang berlaku.

2.1.3. Tujuan Perkawinan Adat

Tujuan pokok dari perkawinan adat adalah mendapatkan keturunan terutama anak laki-laki pada daerah yang menganut sistem patriarkat. Anak laki-laki inilah yang diharapkan akan meneruskan nama keluarga ayahnya. Di sisi lain, pada sistem perkawinan matriarkat, yang dikejar dalam perkawinan adalah anak wanita, karena melalui dia keturunan ibunya akan diteruskan dan diperkuat. Jelas bahwa perkawinan adat sangat menjujung tinggi nilai kesuburan. Jika perkawinan tidak mendapatkan anak, maka bagi sebagian orang perkawinan tersebut dianggap gagal.

2.1.4. Ciri-ciri Perkawinan Adat

Dalam tradisi perkawinan adat, terdapat dua ciri yang paling menonjol. Pertama, perkawinan adat menekankan proses. Artinya, perkawinan dilihat sebagai suatu proses yang ditandai dengan urusan “belis” yang berkesinambungan. Perkawinan bukan hanya suatu upacara atau suatu kontrak yang terjadi pada suatu saat, melainkan suatu peristiwa sepanjang hidup dari suami-istri dalam hubungannya dengan keluarga besarnya. Proses ini sepertinya berpuncak pada saat kedua orang yang menikah itu boleh mengalami masa tua, dikelilingi oleh anak dan cucu dan mengalami keharmonisan.

Kedua, perkawinan adat sangat menekankan segi sosial dari perkawinan. Dalam perkawinan tradisional, urusan perkawinan merupakan urusan semua keluarga. Kepentingan keluarga sangat menentukan pilihan jodoh, dan kepala keluargalah yang mengurus perkawinan anak-anaknya. Mereka yang baru menikah harus menyesuaikan diri dengan keluarga besar, karena keluarga besarlah yang memberikan pekerjaan, warisan, perlindungan dan kekuatan kepada mereka.

2.2. Perkawinan Adat Bajawa

2.2.1. Arti dan Makna Perkawinan Adat Bajawa


Arti dan makna perkawinan dalam masyarakat Bajawa dapat dibaca dalam kata-kata kunci yang diapakai pada saat perkawinan adat. Salah satu kata kunci yang dipakai adalah “Buri Peka Naja, Logo Bei Ube” (pantat telah menyentuh lantai dan pungung pun telah bersadar pada dinding). Buri adalah “pantat,” peka “menyentuh,” naja berarti “pelupu yang menjadi lantai rumah adat.” “Buri” ini menjadi simbol pria, “Naja” adalah simbol wanita yang menjadi calon istri. “logo’ adalah punggung yang menajdi simbol pria. Sedangkan “ube” adalah dinding papan rumah adat sebagai simbol wanita calon istri yang menjadi pemilik rumah dan pemilik ketangguhan dan keselamatan hidup.

Dari penafsiran atas ungkapan ini dapat disimpulkan bahwa menurut adat Bajawa, perkawinan merupakan persatuan kedua insan yang berbeda jenis kelamin untuk membangun kehidupan bersama dalam keselamatan dan tangguh dalam menumbuhkan keturunan mereka. “Buri peka naja, Logo bei ube” adalah simbol perkawinan tradisional Bajawa untuk meyatukan kedua insan yang berbeda jenis kelamin yang telah membentuk kehidupan dalam satu rumah.

2.2.2. Sistem Perkawinan Adat Bajawa

2.2.2.1. Ditinjau dari segi suku


Ditinjau dari segi suku ada dua sistem perkawinan Adat. Pertama, sistem perkawian endogami. Menurut sistem ini perkawinan terjadi di antara sesama kesatuan masyarakat hukum adat atau marga yang sering disebut “go sama one” baik untuk lingkup “woe” (kelompok masyarakat adat yang lebih kecil dari suku), maupun dengan sesama anggota kampung yang artinya masih keluarga jauh. Tujuaannya pernikahan jenis ini ada dua:

1) Kago sama sao wea nao mae galo: artinya, perkawinan di antara anggota suku sendiri guna menghindari belis atau mas kawin. Perkawinan jenis ini sering terjadi antara saudara sebuyut. Tujuannya, untuk memperteguh hak dan kewajiban dalam kesatuan masyarakat hukum adat.

2) Po Tolo Kobho Nau Wawo Ngima: perkawinan di dalam sesama dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang segeneologis (woe). Tujuannya, juga tetap sama yakni menjaga agar harta benda tidak mengalir pihak lain melalui belis.

Kedua, sistem perkawinan eksogami. Artinya, perkawinan yang dilakukan antara kedua pasangan dari kesatuan teritorial yang lebih luas dari kampung halaman sendiri. Perkawinan dengan sistem ini disebut “kadhi bata.” Sistem ini juga tetap berpegang pada prinsip bahwa pasangan tetaplah seasal, sedarah, seketurunan dari kelurga yang telah lama melakukan perkawinan ke luar. Intinya, tetap sama yakni perkawinan dilakukan di antara keluarga sendiri.

2.2.2.2. Dilihat dari Segi Rumah

Dari segi ini juga dikenal dua jenis perkawinan. Pertama, perkawinan “dii sao” merupakan bentuk perkawinan yang lazim terjadi. Bentuk perkawinan ini sesuai dengan sistem kekerabatan matilineal menurut garis keturunan ibu. Di sini, wanita menjadi ahli waris atas semua harta milik dari keluarga di mana wanita itu tinggal. Dari bentuk perkawinan ini, suami menjadi pendatang dalam rumah istrinya atau yang dikenal dengan nama “ana ngodho mai.” Suami datang, tinggal dan bekerja di rumah istrinya. Sebagai pendatang, suami tidak terhitung sebagai anggota rumah dan tak mempunyai hak atas semua harta warisan yang ada di dalam rumah istrinya. Yang berhak adalah istrinya, sedangkan pengaturannya diurus oleh saudara istrinya. Relasi kunci yang terjadi di sini adalah relasi “paman-anak” dan bukan “bapak-anak.” Masa depan anak-anak, hasil perkawinan “dii sao” bukan berada di tangan ayahnya, tetapi berada di tangan pamannya.

Kedua, perkawinan “pasa” atau belis. Perkawinan “pasa” adalah bentuk perkawinan di mana istri dibelis oleh pihak keluarga suami. Anak-anak hasil perkawinan ini mengikuti garis keturunan bapak, memiliki hak atas harta warisan ayah. Namun, mereka tetap harus taat kepada anak-anak saudari ayahnya, jika ada. Akan tetapi, biasanya sangat jarang karena perkawinan jenis ini dilakukan bila di dalam rumah sang ayah tidak ada saudari yang berhak atas segala warisan di dalam rumah tersebut.

2.2.3. Tahap-tahap Perkawinan Adat Bajawa

2.2.3.1. Tahap Perkenalan dan Pacaran (Papa Tei Tewe Moni Neni)


Tahap ini merupakan tahap mencari jodoh yang dilakukan sendiri oleh sang pria. Hasil temuannya disampaikan kepada orang tuanya untuk diproses lebih lanjut dengan tata urusan yang mulai melibatkan keluarga besar dan anggota suku. Pada tahap ini ada beberapa sub-tahap yang harus dilewati lagi.

a. Beku Mebhu Tana Tigi (hancurnya dedaunan di sepanjang jalan dan padatnya tanah yang sering dilalui). Disebut demikian karena inilah yang dinamakan dengan tahap penjajakan yang bukan dilakukan oleh pemuda kepada pacarnya, tetapi oleh ibunya. Ibu sang pemudalah yang aktif ke rumah calon besannya untuk menjajaki kenyataan perilaku dan sifat gadis idaman anaknya dan berupaya mendapatkan kepastian apakah gadis yang bersangkutan sungguh-sunguh bebas dari incaran pria lain selain putranya.

b. Bere Tere Oka Pale (meletakan tempat untuk sekapur sirih). Inilah tahap peminangan atau melamar. Di sini, pihak lelaki mengutus duta peminangannya yang terdiri dari saudari kandung dan beberapa wanita lainnya yang dianggap layak dan mampu bersekapur – sirih dengan pihak gadis pinangan dan keluarganya. Hal ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk diketahui oleh seisi kampung bahwa gadis itu telah dipinang (dilamar). Acara ini dilakukan dengan penuh persaudaraan dan keakraban sebagai suatu kerabat yang saling menerima dalam satu ikatan.

c. Nasa. Berarti, kedua calon suami-istri menjalankan pencocokan tingkah laku atau tahap penyamaan persepesi, visi dan misi, sebelum menikah secara adat. Masa ini boleh disebut sebagai masa pertunanganan.

d. Zeza: yang merupakan upacara peresmian atau pengesahan perkawinan secara adat. Dalam upacara zeza ini akan dilakukan beberapa ritus pokok:

1. Zia Ura Ngana. Pada waktu ritus ini, babi dan beras diletakkan pada tempat yang sama lalu didoakan oleh tua adat kemudian dimasak untuk dimakan dalam acara tersebut. Setelah beras dan babi diletakan di depan pintu rumah adat, didoakan oleh tua adat, kedua calon diminta untuk duduk di “mata raga” (altar korban dalam rumah adat) yang diapiti oleh sanak saudara dari kedua belah pihak. Saudara pengantin wanita diminta untuk membawa babi dan beras yang disimpan di atas kepala babi sambil berkata sebagai berikut: “zia ura ngana dia, tewe dia da buri peka naja, logo bei ube, wi zeza ana kami (....nama), ulu wi tutu, kage wi gebhe huy nee maki zeza (fai nee hak) wi moe go wea da lala dhape, dua wi penga dua, nuka wi penga nuka. Tee setoko, lani setebu,kami wi bhe nee nitu zale ngadhu nee bhaga, sus keri asa kae nusi nange kajo pera, ine ame mai wi dii utu meda mogo, padha wi meze aze, wi lewa pipi wi mae isi, pasu wi mae nau, wiwi le gaja rae, zala wigoda gai. Ngana kau bhara ura zia,pedhu benu lie seko, kau ba se gebu, ketu kau ba le todho ngadho, kabu peda kau ba le teme. Wiwi kau ba le gaja rae. Dia jao wela kau seteka mata mema.” Artinya: “sucilah seluruh makanan ini di saat upacara pernikahan anak kami (nama kedua mempelai) ini, yang kami hadirkan ya Penguasa lagit dan bumi, Leluhur terpokok Oba dan Ngana, leluhur pokok turunan Teru dan Tena, leluhur pokok pria dan wanita dari kesatuan masyarakat hukum adat ini, para pelindung rumah leluhur, pemberi ajaran dan pengetahuan. Para orang tua yang telah tiada untuk bersama kami menyaksikan guna melindungi mereka bagi persatuannya yang agung berkelanjutan untuk mejadi suami-istri yang bersatu padu takterceraikan seakan emas yang disepuh-leburkan jadi satu. Sekiranya permohonan kami ini berkenan di hati kalian, para leluhur dan pra orang tua. Tunjukkanlah pada urat-urat hati babi ini, yakni empedunya penuh, buah kecipirnya serangkai dengan hati tanda kewibawaan berkekuatan tegaknya...)

2. pengurapan darah babi pada pengantin: darah babi yang dioleskan di dahi merupakan penegasan seorang laki-laki memasuki rumah wanita. Hal ini didasarkan atas sistem perkawinan matriarkat yang berakibat bahwa wanita yang berperan sebagai penguasa sedangkan suami sebagai pembantu. Saat pengurapan dengan darah babi, tua adat mengucapkan kata-kata: “dia wi toro papa bhoko, mite mata raga da toa gha nee ulu beo gha nee eko.” Artinya: “anak lelaki ini kini diserahkan sebagai suami anak kita (nama penganti wanita tersebut) dan menjadi pembantu dalam rumah ini.” Dengan upacara ini seeorang pria yang menjadi calon suami si gadis resmi menjadi suami si gadis untuk seterusnya bersama istrinya mengatur kehidupan bersama dalam keluarga.

3. Tota ura ngana: untuk membaca kehendak penguasa langit dan bumi dan para leluhur guna membimbing, melindungi pengantin sesuai dengan permohonan yang diharapkan dalam pengucapan doa.

4. Bau gae: persembahan atau penyajian yang suci kepada penguasa langit dan bumi dan para luluhur sekaligus memohon perlindungan dan naungan itu.

5. Zeza: pemberian makan makanan utama berupa daging babi dan nasi yang disucikan kepada pengantin lelaki sebagai ujud untuk sudah boleh hidup bersama.

6. Ritus Penutup: acara penutup sering disebut dengan “Ka toka inu sobhe, lese dhe peda pawe.” Yang merupakan makan bersama penutup bagi semua yang hadir pada upacara tersebut.

Biasanya setelah semua proses ini berlangsung, dengan sendirinya kedua mempelai ini boleh tinggal serumah, tidur bersama dan melakukan aktivitas layaknya sebagai suami-istri tanpa terlebih dahulu mengesahkan perkawinannya di Gereja. Perkawinan adat ini masih berpengaruh kuat sampai dengan saat ini. Hukum Adat dan Hukum Gereja masih kelihatan sama kuatnya. Karena itu, perlu dilihat sikap-sikap yang tepat untuk mengatasi hal ini.

2.2.4. Sifat Perkawinan Adat Bajawa

Dari kata-kata doa dan nasehat serta simbol-simbol yang digunakan dapat dikatakan bahwa perkawianan adat Bajawa bersifat monogam dan takterceraikan. Hal ini terbukti pada saat upacara perkawinan adat di mana bahasa-bahasa adat yang digunakan pada saat peresmian perkawinan tersebut berbunyi “yang senantiasa bersatu dan takterceraikan.”

3. Sikap yang Tepat Terhadap Warisan Budaya

Terhadap warisan budaya lokal sebelum adanya kristianitas, ada beberapa sikap yang bisa ditempuh oleh insan beriman kristiani berhadapan dengan budayanya:

a. Menerima seluruh proses perkawinan adat setempat sebagai sesuatu yang dianggap penting juga sebelum diresmikan secara sakramental.

b. Kita juga bisa secara relistis mengevaluasi dan melihat bahwa mungkin saja proses itu sudah tidak bisa dihayati secara penuh dan perlu diakui perubahan yang disebabkan oleh modernisasi yang juga membawa nilai baru seperti penghargaan, pathnership, dan cinta personal yang semuanya ini kurang begitu tampak dalam perkawinan adat Bajawa.

c. Dari segi hukum, kita harus juga mencoba untuk mencari tempat yang cocok untuk mengintegrasikan tuntutan hukum gereja ke dalam proses perkawinan adat tersebut.

d. Dari segi iman dan sakramentalitas perkawinan: seluruh proses dan segala aspek serta perubahan-perubahannya sepenuhnya kita serahkan kepada Kristus. Ia akan menyembuhkan dari segala dosa egoisme serta pelbagai pengaruh, kemudian mengembangkannya dalam opsi Kerajaan Allah. Secara konkret hal ini berarti kita harus mempertemukan dan dengan bantuan rahmat Allah untuk memurnikan proses perkawinan dan pelaksanaannya menjadi suatu Sakramen Kerajaan Allah.

4. Penutup

Jelaslah bahwa perkawinan adat Bajawa sesempurna apapun dan walaupun sifatnya sudah sangat mengikat, monogam dan takterceraikan, tetap bukan merupakan sebuah sakramen. Karena itu, di akhir semua tahap tersebut sebaiknya dipikirkan juga untuk sesegera mungkin menindaklajutinya dengan proses-proses yang lazim dalam tahap-tahap perkawinan Kristiani agar perkawinan tersebut bernilai sakramntal dan bukan hanya menjadi realitas manusiawi belaka.

Segi personalitas kurang tampak di dalam perkawinan adat Bajawa. Yang dominan adalah segi sosialnya. Kesepakatan tibal-balik antara kedua pasangan dan bukan hanya “antara kedua pihak keluarga” harus lebih ditonjolkan lagi. Sebab perkawinan Kristiani lebih menuntut kesepakatan timbal-balik dari masing-asing pasangan dengan hati yang bebas dan bukan karena tekanan sosial oleh keluarga dan masayrakat adat.

Perkawinan adat Bajawa yang bercorak matriarkat melahirkan pola relasi suami-istri yang tidak adil. Artinya, pola realasi istri sebagai tuan sedangkan suami sebagai pembantu. Hal ini tidak sejalan dengan semangat perkawinan Kristiani seperti yang terungkap dalam Gaudium et Spes tentang unsur patnership dalam membangun hidup bersama.

Tanggung jawab atas pendidikan anak juga kurang menjadi fokus perhatian dalam perkawinan adat Bajawa. Anak masih dilihat sebagai aset keluarga dan tenaga kerja baru dalam unit produksi keluarga. Karena itu, perlu diindahkan harapan Konsili Vatikan II yang tertuang dalam Gaudium et Spes tentang tujuaan perkawinan Kristiani dan yang ditegaskan lagi dalam KHK 1055, par.1 tentang tujuan perkawinan yakni: kesejahteraan suami istri & kesejahteraan anak: kelahiran dan pendidikan anak.

Daftar Bacaan

Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 7 Desember 1965 (no.47-52)
Kitab Hukum Kanonik (Edisi Resmi Bahasa Indonesia), Sekretariat KWI (ed.), cet. ke-1, KWI, Jakarta, 2006.
Catur raharso Alfonsus, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik, Dioma, Malang, 2006.
Groenen, C, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Jogyakarta, 1993.
Koningsman Josef, Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik, Nusa Indah, 1987.
Komlit KWI, Perkawinan Kristen, Kanisius, Jogjakarta, 1987.
Hadiwardoyo Al, Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Kanisius, cet. ke-3, 1991
Daeng Hans, Antropologi Budaya, Nusa Indah, cet. ke-2, Ende, 1986.
Papo Yakob, Moral Kristiani, Puspas, Ende, 1987

Dikutip dari : http://marcelsmm.multiply.com/

baca selanjutnya...

Sabtu, 21 April 2012

Upacara Perkawinan Adat Aceh

Tahapan Melamar (Ba Ranub)

Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang bijak dalam berbicara (disebut theulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika theulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlabih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu.

Pada hari yang telah di sepakati datanglah rombongan orang2 yang dituakan dari pihak pria ke rumah orang tua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya seperti gambe, pineung reuk, gapu, cengkih, pisang raja, kain atau baju serta penganan khas Aceh. Setelah acara lamaran iini selesai, pihak pria akan mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.

Tahapan Pertunangan (Jakba Tanda)

Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukeong haba yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang mahar (disebut jeunamee) yang diminta dan beberapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba tanda)

acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus ditengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.

Persiapan Menjelang Perkawinan

Seminggu menjelang akad nikah, masyarakat aceh secara bergotong royong akan mempersiapkan acara pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan atau peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan. Adapun calon pengantin wanita sebelumnya akan menjalani ritual perawatan tubuh dan wajah serta melakukan tradisi pingitan. Selam masa persiapan ini pula, sang gadis akan dibimbing mengenai cara hidup berumah tangga serta diingatkan agar tekun mengaji.

Selain itu akan dialksanakan tradisi potong gigi (disebut gohgigu) yang bertujuan untuk meratakan gigi dengancara dikikir. Agar gigi sang calon pengantin terlihat kuat akan digunakan tempurung batok kelapa yang dibakar lalu cairan hitam yang keluar dari batok tersebut ditempelkan pada bagian gigi. Setelah itu calon pengantin melanjutkan dengan perawatan luluran dan mandi uap.

Selain tradisi merawat tubuh, calon pengantin wanita akan melakukan upacara kruet andam yaitu mengerit anak rambut atau bulu-bulu halus yang tumbuh agar tampak lebih bersih lalu dilanjutkan dengan pemakaian daun pacar (disebut bohgaca) yang akan menghiasi kedua tangan calon pengantin. Daun pacar ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan warna merah yang terlihat alami.

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan mengadakan pengajian dan khataman AlQuran oleh calon pengantin wanita yang selanjutnya disebut calon dara baro (CBD).Sesudahnya, dengan pakaian khusus, CBD mempersiapkan dirinya untuk melakukan acara siraman (disebut seumano pucok) dan didudukan pad asebuah tikaduk meukasap.

Dalam acara ini akan terlihat beberapa orang ibu akan mengelilingi CBD sambil menari-nari dan membawa syair yang bertujuan untuk memberikan nasihat kepada CBD. Pada saat upacara siraman berlangsung, CBD akan langsung disambut lalu dipangku oleh nye’wanya atau saudara perempuan dari pihak orang tuanya. Kemudian satu persatu anggota keluarga yang dituakan akan memberikan air siraman yang telah diberikan beberapa jenis bunga-bungaan tertentu dan ditempatkan pada meundam atau wadah yang telah dilapisi dengan kain warna berbeda-beda yang disesuaikan dengan silsilah keluarga.

Upacara Akad Nikah dan Antar Linto

Pada hari H yang telah ditentukan, akan dilakukan secara antar linto (mengantar pengantin pria). Namun sebelum berangkat kerumah keluarga CBD, calon pengantin pria yang disebut calon linto baro(CLB) menyempatkan diri untuk terlebih dahulu meminta ijin dan memohon doa restu pada orang tuanya. Setelah itu CLB disertai rombongan pergi untuk melaksanakan akad nikah sambil membawa mas kawin yang diminta dan seperangkat alat solat serta bingkisan yang diperuntukan bagi CDB.

Sementara itu sambil menunggu rombongan CLB tiba hingga acara ijab Kabul selesai dilakukan, CDB hanya diperbolehkan menunggu di kamarnya. Selain itu juga hanya orangtua serta kerabat dekat saja yang akan menerima rombongan CLB. Saat akad nikah berlangsung, ibu dari pengantin pria tidak diperkenankan hadir tetapi dengan berubahnya waktu kebiasaan ini dihilangkan sehingga ibu pengantin pria bisa hadir saat ijab kabul. Keberadaan sang ibu juga diharapkan saat menghadiri acara jamuan besan yang akan diadakan oleh pihak keluarga wanita.

Setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga CLB akan menyerahkan jeunamee yaitu mas kawin berupa sekapur sirih, seperangkat kain adat dan paun yakni uang emas kuno seberat 100 gram. Setelah itu dilakukan acara menjamu besan dan seleunbu linto/dara baro yakin acara suap-suapan di antara kedua pengantin. Makna dari acara ini adalah agar keduanya dapat seiring sejalan ketika menjalani biduk rumah tangga.

Upacara Peusijeuk

Yaitu dengan melakukan upacara tepung tawar, memberi dan menerima restu dengan cara memerciki pengantin dengan air yang keluar dari daun seunikeuk, akar naleung sambo, maneekmano, onseukee pulut, ongaca dan lain sebagainya minimal harus ada tiga yang pakai. Acara ini dilakukan oleh beberapa orang yang dituakan(sesepuh) sekurangnya lima orang.

Tetapi saat ini bagi masyarakat Aceh kebanyakan ada anggapan bahwa acara ini tidak perlu dilakukan lagi karena dikhawatirkan dicap meniru kebudayaan Hindu. Tetapi dikalangan ureungchik (orang yang sudah tua dan sepuh) budaya seperti ini merupakan tata cara adat yang mutlak dilaksanakan dalam upacara perkawinan. Namun kesemuanya tentu akan berpulang lagi kepada pihak keluarga selaku pihak penyelenggara, apakah tradisi seperti ini masih perlu dilestarikan atau tidak kepada generasi seterusnya.

Sumber : http://mantenparty.blogspot.com/
Gambar : http://novrizal-aceh.blogspot.com/

baca selanjutnya...

Kamis, 19 April 2012

Arsitektur Rumah Adat Wajo - Nagakeo - Flores

Kampung Adat Wajo berada di Desa Wajo, Kecamatan Keo-Tengah, Kabupaten Nagekeo. Kabupaten ini secara geografis terletak diantara 80 26’ 00’’-80 64’ 40” Lintang Selatan dan 1210 6’ 20”-1210 32’ 00” Bujur Timur. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian Selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Ende, sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Ngada.

Karakteristik Arsitektur Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), Bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat.

Pola Perkampungan adat wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunana disekitarnya.

Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang dilaut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.

Hal ikhwal dalam Pola Perkampungan adat Wajo ini terdapat ketentuan-ketentuan khusus, misalnya arah jalan masuk, baik dalam keseharian maupun ritual adat, yakni harus melalui tangi Kodi, sebagai pintu masuk semua rangkaian kegiatan adat dengan ketentuan bila naik ke Sa’o Pile (Rumah Pemali), harus melepas alas kaki (sandal) dan mengenakan sarung adat.

Arah masuk kampung adat, dengan pola melingkar, dimulai dari arah kanan dan keluar harus mengitari Sa’o Pile dari arah kanan ke kiri, dengan ketentuan, jika sudah keluar dari perkampungan, sesuai adat Range-tidak boleh kembali ke belakang (pada waktu yang bersamaan); (jarak) rumah kepala suku menjadi tata pola perkampungan adat wajo, yakni tiap kepala suku (ada 6 suku) masing-masing dipisahkan oleh 2 rumah Masyarakat biasa, dengan vocal point berupa dinding bambu ukiran (motif kain adat wajo).

Bangunan Arsitektur Wajo
Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting dalam pembentuk karakter orang Wajo.

Untuk Rumah Pemali (Sa’o Pile) terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta”, dengan fungsi utama atau pokok, yaitu fungsi Sosial dan fungsi Religius.

Disebut memiliki fungsi Sosial, karena Rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat berkumpulnya warga kampung ataupun suku (6 suku) dan tempat bermusyawarah. Sedangkan disebut mempunyai fungsi Religius, karena rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat dilakukannya upacara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik suku. Adanya Ruang Suci (Sakral) (Tubu nusu) dan benda-benda pusaka yang tidak boleh disentuh oleh Masyarakat awam, membuktikan bahwa rumah pemali, bukan saja sebagai tempat pemersatu semua suku, melainkan juga sebagai tempat tinggal Roh Leluhur (Retha).

SA’O PILE (RUMAH PEMALI)
Disebut Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula. Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai bangunan. Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai (lambang seekor Ular, penjaga kampung “Ine mbupu”).

Secara hierarki Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta). Proses mendirikan Sa’o Pile ini memakan waktu kurang lebih 6 bulan dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa Rumah Pemali (Sa’o Pile) memiliki nilai dan makna yang berarti dan mahal, sehingga tidak sembarang dibangun, akan tetapi melalui ritual adat dengan ketentuan khusus pula, yang mana dikerjakan oleh semua warga kampung.

1) Cara Mendirikan Sa’o Pile (rumah Pemali)
Untuk mendirikan atau membangun Sa’o Pile, berdasarkan kesepakatan semua Suku (6 Suku), dalam ritual atau Upacara Adat, yakni :
Matu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;

Setelah semua anggota suku dengan keturunannya sudah berkumpul, ritual adat yang harus dijalankan yaitu meminta petunjuk, arahan sekaligus izin dari leluhur, yaitu “Tika” artinya member makan (sesajen) kepada leluhur (Ndewa rekta nee ngae rade);

Untuk mengumpulkan elemen-elemen (bahan-bahan) bangunan juga harus melalui ritual adat yakni “Raba taka” artinya mengasah parang pada waktu memotong tiang dan lain-lain terlebih dahulu didarahi dengan darah kerbau; “Woti geri” artinya mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan pada setiap elemen konstruksi.Pada saat membangun Sa’o Pile, elemen-elemen konstruksi langsung ditempatkan pada posisinya secara bertahap (tidak dirangkaikan terlebih dahulu), yakni :

1. Mendirikan tiang utama (Deke). Tiang utama tersebut berjumlah 6, yakni didirikan sesuai lingkaran suku dari kanan ke kiri, melambangkan suku-suku yang ada ; Emb lau; Embumbani, Koto bhisu mena;, Koto bhisu Rade; Jemu dhedhe wawo; Jemu dhedhe wena.
Tiang utama (Deke), harus menggunakan kayu khusus yaitu “kaju embu” yang diambil dari kebun pribadi Masyarakat Wajo, yakni di Nio budha, Ae toe, natu dan Baomau, penuh ukiran dengan system konstruksi ditanam dalam tanah, beralaskan batu ceper (Watu) dan dibalut oleh tali Ijo (ijuk) system Umpak batu.
2. Tiang utama menopang “Tenga” (sloff bawah) yaitu balok berbentuk kuda “Kaju mali kuda”, diambil dari ,undemi (Kebun) dengan system konstruksi “Monge”.
3. Karena merupakan rumah panggung, Sa’o Pile terdiri dari beberapa tangga yang harus ditapaki (dilewati bertahap), yakni :
* Ngi kajo, yaitu tangga pertama, berupa balok panjang.
* Kana wari, disebut sebagai jembatan ke rumah adat, yang dibantu dengan seutas tali ijo (konon menggunakan ekor kerbau), terbuat dari Kaju Oja yang diambil di “lewa”. Kana wari ini dilengkapi dengan ornament berupa patung yang diyakini sebagai penjaga pintu masuk Rumah Pemali (“Ana Jeo”) yakni ;
* Daki Weke (sebelah kiri);
* Nenbo Neke (sebelah kanan)Konon dua patung ini adalah Ana jeo, yaitu 2 orang anak yang menjaga seluruh kampung adat Wajo;
4. Kodi Panda Yakni balok lantai pembatas pintu masuk (Wesa) dengan Kana wari. Bagi Masyarakat wajo, aturan atau pantangan memasuki rumah pemali adalah tidak boleh terantuk (tersandung) pada balok Kodi panda. Hal ini menandakan tidak diperkenankan untuk masuk ke Sa’o Pile (Pemali).
5. Wisu (kaju mbaa tolo), Yakni kayu merah ½ dinding sebagai bagian konstruksi kolom-kolom pembentuk dindiding, diambil di Koi (Kebun).
6. Lantai “kembi”, terbuat dari belahan bambu dengan menggunakan konstruksi ikat silam dengan tali “Nao” (fii bheto) pada fii kodi ( balok lantai) atau Dado Kodi.
7. Rumah Sa’o Pile berbentuk limas, sehingga jenis atapnya menggunakan jurai dengan konstruksi diikat oleh tali ijo (tali ijuk), yakni :
* Soku dok, yakni balok Jurai;
* Mangu atau mbaa tolo yakni tiang nok, dari kayu merah;
* Kada peda, yakni ½ kuda-kuda;
* Soku papa, yakni gording dari bambu;
* Pama lindi, yakni papan list plank penuh ukiran;
* Alang-alang dan ijuk pada jurai, dikumpulkan dari masing-masing suku. Konstruksi alang-alang ini diapit oleh bambu dengan ukuran 1 meter dan diikat pada reng bambu dengan jarak 0,5 meter. h. Loteng atau Kodi Panda
* Kodi panda yakni ruang pada lantai 2 yang difungsikan sebagai tempat memanggil atau mengumpulkan semua warga kampung untuk mempersiapkan peralatan perang jika ada peperangan. Biasanya cara mengumpulkan semua warga kampung Wajo diiringi dengan musik gong, gendang, suling dan juga syair-syair lagu.

2) Upacara Adat dalam mendirikan Sa’o Pile (Rumah pemali)
Tujuan mengadakan upacara atau ritual adat dalam membangun rumah pemali, diyakini oleh masyarakat adat Wajo “sebagai wujud permintaan kepada leluhur untuk melindungi anak cucunya dari seluruh anggota suku agar sehat dan berhasil dalam membangun (Mbinge woso kupa) mengembangkan keturunan agar generasi-generasi berkembanga pesat”.Mutu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk (berdialog) untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
* Tika, yakni memberi sasajen (makan) kepada leluhur (“ndewa rekta nee ngae rade”);
* Raba taka, yakni upacara mengasah parang pada waktu memotong tiang dan bahan lainnya yang terlebih dahulu didarahi oleh darah kerbau;
* Woti geri, yakni upacara mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan Wajo;
* Lombo lindi, yakni memotong alang-alang agar rapih (finishing);
* Pije puu, meletakkan tanah di sekitar tiang dan peo agar kuat yang didarahi dengan darah kerbau. Dalam ritual adat hewan yang menjadi kurban pokok yaitu babi, digunakan untuk mendarahi kayu-kayu atau alang-alang selama masih di hutan atau kebun, dan kerbau, digunakan untuk mendarahi bahan-bahan bangunan disuatu tempat untuk siap dibangun (izin pada penunggu pohon). Selain itu tarian yang digunakan selama upacara adat yaitu tarian Pute wutu oleh ana susu. Menurut masyarakat Wajo rumah sa’o pile dibangun berdasarkan syair-syair lagu “Ndada ta”.

3) Denah dan Pola Ruang
Denah dan pola ruang dalam tatanan arsitektur Tradisional (Vernakular) Wajo memiliki pola pikir yang bersifat sakral dan selalu dapat ditinjau secara hierarkis, yaitu horizontal dan vertikal.

Rumah pemali Sa’o Pile tergolong tipologi rumah panggung, terdiri dari dua lantai yang mana bertitikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang suci yang dikeramatkan.

Secara horizontal, pola ruang rumah pemali selalu dikaitkan dengan kehidupan profan, dengan tuntutan aktivitas seperti, makan bersama, memasak (Dika) dan bersosialisasi. Sedangkan secara vertikal selalu berhubungan dengan hal-hal kosmik dan sakral, karena pada ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (Upacara adat) yang bersifat sakral dan suci.

Disisi lain, secara adat istiadat Wajo terdapat pemisahan ruang yang memiliki sejumlah larangan, misalnya pembagian ruang masak (Wanita tidak boleh melewati pembatas antara ruang Dika/dapur dalam rumah pemali) yang dipisahkan oleh sebatang bambu dengan ukuran yang berbeda. Secara Vertikal arsitektur Wajo ini ditandai dengan adanya ruang upacara adat (ruang suci) yang dipisahkan oleh sebatang balok melintang. Dalam sumbu vertikal ini sangat jelas membedakan fungsi suatu ruang dari atas ke bawah atau dari yang keramat (pemali) sampai yang biasa, merupakan manifestasi dari dunia atas (dunia para dewa atau leluhur), dunia tengah (tempat manusia) dan dunia bawah (binatang dan roh jahat).

Tatanan pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) adat Wajo juga pada dasarnya memiliki konsep dan hierarki ruang yagn identik sama dengan pola atau hirarki pada tat ruang dalam rumah pemali. Inti dari ruang luar ini pada pola tapak “Pondo” adalah kehadiran bangunan megalitik, Pu’u Peo, Peo Aki dan juga pelataran terbuka dalam lingkup kosmik gagasan Masyarakat Wajo dari jaman leluhur terdahulu.

4) Ornamen dan Ragam Hias
Ornament dan Ragam Hias pada Arsitektur Tradisional (Vernakular) adat Wajo yang terdapat dalam Rumah pemali (Sa’o Pile) memiliki banyak makna, norma, serta larangan tertentu sesuai perletakan yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu pula dari bangunan tersebut. Dari segi bentuk ragam hias ini sangat bervariasi, yakni berupa garis lurus, garis langkung (dengan komposisi tertentu), balah ketupat, flora (Kuntum bunga), fauna (binatang), manusia (sosok manusia, organ tertentu wanita, seperti payudara, dan patung), serta benda-benda langit (bulan, bintang, dan matahari). Ragam hias dengan komposisi garis-garis lengkung umumnya bersosok sesuatu benda yang menunjukkan keberadaan benda-benda pusaka atau benda berharga lainnya yang tersimpan di dalam Rumah pemali

Sumber : http://ireniuz-ireniuz.blogspot.com/

baca selanjutnya...

Selasa, 17 April 2012

Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Bugis Bone

Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis Bone yang disebut ”Appabottingeng ri Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang berurutan yang tidak boleh saling tukar menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada masyarakat Bugis Bone yang betul-betul masih memelihara adat istiadat.

Pada masyarakat Bugis Bone sekarang ini masih kental dengan kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang sewajarnya dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna, diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan abadi, dan hubungan antar dua keluarga tidak retak.

Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi :

1. Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan). Maksudnya calon mempelai laki-laki melihat calon mempelai perempuan dengan cara bertamu dirumah calon mempelai perempuan, apabila dianggap layak, maka akan dilakukan langkah selanjutnya.

2. Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang sudah betul-betul dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah dikenal akrab oleh calon mempelai laki-laki.

3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang datang mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan orang tua si perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta Mallino (duta resmi)

4. Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi Duta Mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki kerumah perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.

Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga terdekatnya serta orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran pada waktu pelamaran. Setelah rombongan To Madduta (utusan) datang, kemudian dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Dimulailah pembicaraan antara To Madduta dengan To Riaddutai, kemudian pihak perempuan pertama mengangkat bicara,lalu pihak pria menguitarakan maksud kedatangannya.

Apa bila pihak perempuan menerima maka akan mengatakan ”Komakkoitu adatta, srokni tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya bila demiokian tekad tuan, kembalilah tuan, pelajarilah saya dan saya pelajari tuan, atau dengan kata lain pihak perempuan menerima, maka dilanjutkan dengan pembicaraan selanjutnya yaitu Mappasiarekkeng.

6. Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa jua disebut dengan Mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya.Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain :
a. Tanra esso (penentuan hari)
b. Balanca (Uang belanja)/ doi menre (uang naik)
c. Sompa (emas kawin) dan lain-lain

Setelah acara peneguhan Pappettuada selesai, maka para hadirin disuguhi hidangan yang terdiri dari kue-kue adat Bugis yang pada umumnya manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis (senang) dikemudian hari.

UPACARA SEBELUM AKAD PERKAWINAN

Sejak tercapainya kata sepakat, maka kedua belah pihak keluarga sudah dalam kesibukan. Makin tinggi status sosial dari keluarga yang akan mengadakan pesta perkawinan itu lebih lama juga dalam persiapan. Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan kepada seluruk sanak keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang wanita dengan menggunakan pakaian adat.

Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin. biasanya tiga malam berturut-turut sebelum hari pernikahan calon pengantin Mappasau (mandi uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng samapai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara Mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang Penni.

Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”.

Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk : Mappaccing Ati (bersih hati), Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).

Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya.

Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini.

UPACARA SETELAH AKAD PERKAWINAN

Setelah prosesi mappacci selesai, keesokan harinya mempelai laki-laki diantar kerumah mempelai wanita untyk melaksanakan akad nikah (kalau belum melakukan akad nikah). Karena pada masyarakat Bugis Bone kadang melaksanakan akad nikah sebelum acara perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah Kawissoro. Kalau sudah melaksanakan Kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara Mappasilukang dan Makkarawa yang dipimpin oleh Indo Botting.

Setelah akad perkawinan berlangsung, biasanya diadakan acara resepsi (walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan doa restu dan sekaligus menjadi saksi atas pernikahan kedua mempelai agar mereka tidak berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua mempelai bermesraan.

Pada acara resepsi tersebut dikenal juga yang namanya Ana Botting, hal ini dinilai mempunyai andil sehingga merupakan sesuatu yang tidak terpisakhkan pada masyarakat bugis bone. Sebenarnya pada masyarakat Bugis Bone, ana botting tidak dikenal dalam sejarah, dalam setiap perkawinan kedua mempelai diapit oleh Balibotting dan Passepik, mereka bertugas untuk mendampingi pengantin di pelaminan.

Ana Botting dalam perkawinan merupakan perilaku sosial yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan ciri khas kebudayaan orang Bugis pada umumnya dan orang Bugis pada khususnya, karena kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat aatu kelompok penduduk tertentu. Oleh karena itu, Ana Botting merupakan kegiatan (perilaku) manusia yang dilaksanakan oleh masyarakat Bugis Bone pada saat dilangsungkan perkawinan.

Sumber : http://ajhierikhapunya.wordpress.com/

baca selanjutnya...

Kamis, 12 April 2012

Betang, Rumah Adat Dayak

Pada zaman dulu, kehidupan suku Dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan itu hidup secara berkelompok. Dimana kehidupan yang mereka jalani selalu dilalui bersama, hal itu dinyatakan dalam sebuah karya yaitu, Huma Betang (Rumah Betang).

Betang memiliki keunikan tersendiri yang dapat diamati dari bentuknya yang memanjang serta hanya terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalamnya. Tangga tersebut dinamakan hejot. Betang yang dibangun tinggi dari permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuninya, seperti menghindari musuh yang bisa saja datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda daerah tersebut. Hampir semua Betang dapat ditemukan di pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan.

Betang biasanya berukuran besar, panjangnya dapat mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Betang dibangun menggunakan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T et B), selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai ratusan tahun dan juga anti rayap.

Betang biasanya dihuni oleh 100-150 jiwa. Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku Dayak, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu. Di dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang dihuni oleh setiap keluarga.

Pada halaman depan Betang terdapat balai sebagai tempat menerima tamu maupun sebagai tempat pertemuan adat, selain terdapat balai juga dapat dijumpai sapundu. Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang biasanya berbentuk manusia yang memiliki ukiran-ukiran khas. Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikorbankan untuk prosesi upacara adat. Terkadang terdapat juga patahu di halaman Betang yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.

Pada bagian belakang dari Betang dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu. Pada Betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong. Pada bagian depan atau bagian belakang Betang biasanya terdapat pula sandung. Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal serta telah melewati proses upacara tiwah.

Salah satu kebiasaan suku Dayak adalah memelihara hewan, seperti anjing, burung, kucing, babi atau sapi. Selain karena ingin merawat anjing, suku Dayak juga sangat membutuhkan peran anjing sebagai ‘teman’ yang setia ketika berburu di hutan belantara. Pada zaman yang telah lalu suku Dayak tidak pernah mau memakan daging anjing, karena sudah menganggap anjing sebagai bagian dari suku Dayak, anjing juga diberi nama layaknya manusia.

Sangat patut disayangkan seiring dengan modernisasi, Betang kini hampir di ujung kepunahan, padahal Betang merupakan salah satu bentuk semangat serta perwujudan dari sebuah kebersamaan suku Dayak. Mungkin nanti Betang akan benar-benar punah tetapi merupakan tanggung jawab kita kepada leluhur untuk tetap mempertahankan semangat Huma Betang. Patut kita sadari di dalam diri ini pasti terdapat rasa untuk tetap memperjuangkan kebudayaan dari leluhur.

Sumber : http://sampoelboedaya.wordpress.com/

baca selanjutnya...

Selasa, 10 April 2012

Rumah Adat Suku Dayak

Suku terbesar di Indonesia yaitu suku Dayak, suku yang menempati pulau terbesar di Indonesia ini.
Suku Asli pulau Kalimantan ini mempunyai adat dan budaya kental dan khas dan cukup terkenal di dunia.

Salah satu budaya suku dayak bisa kita lihat dari karya seni mulai ukiran sampai motif dayak, nah kali ini kita membahas tentang arsitektur bangunan Rumah Betang. Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan.

Suku Dayak hidupnya berkelompok, membentuk koloni dari anggota keluarga mereka. Dengan gaya hidup berkelompok tersebut sangat mempengaruhi bentuk dan besar dari rumah mereka.

Perkampungan suku dayak tersebar pada daerah hulu sungai, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan hasil kebun.

Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi, itu tergantung seberaba besar dan banyak keluarga mereka. Keluarga besar suku Dayak biasanya tinggal dalam satu atap / satu rumah, oleh karena itu ada rumah Betang yang bisa mempunyai panjang mencapai 150 meter dan lebar hingga 30 meter bahkan ada yang lebih. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari permukaan tanah. Tujuan dari rumah panggung tersebut untuk mengantisipasi datangnya banjir pada musim penghujan karena sering sungai meluap dan terjadi di daerah-daerah hulu sungai di Kalimantan.

Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Mereka hidup bersama dan berkelompok dalam satu rumah secara turun menurun. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati satu bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.

Rumah adat suku Dayak ini masih dapat kita temui di pedalaman Kalimantan hingga kini.

Filosofi Rumah Adat Suku Dayak
Prinsip hidup suku Dayak tercermin dari bentuk dan model rumah adat suku Dayak ini. Hidup yang berdasarkan kebersamaan dan toleransi membentuk keutuhan dari rumah betang.

Bagian-Bagian Rumah Adat Suku Dayak:
Bagian depan

Pada bagian depan rumah betang terdapat sebuah anak tangga sebagai pintu masuk ke dalam rumah. Rumah yang berbentuk panggung dengan ketinggian sekitar tiga sampai lima meter dari permukaan tanah ini sengaja dibangun untuk menghindari banjir dan serangan binatang buas.

Di ujung anak tangga, kita akan menjumpai sebuah bale atau balai yang tidak terlalu luas, fungsinya sebagai tempat untuk menerima tamu maupun untuk mengadakan pertemuan dengan kerabat maupun keluarga yang lain.

Masuk ke dalam bangunan, kita akan melihat banyak ruangan yang disekat menjadi beberapa ruangan. Nah, setiap ruangan atau bilik ini ditempati oleh satu keluarga. Jadi, semisal dalam satu rumah betang ada 50 keluarga, berarti jumlah bilik juga ada 50. Itulah kenapa rumah Betang ini bentuknya sangat panjang.

Bagian belakang
Di bagian belakang rumah adat suku Dayak terdapat sebuah ruangan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil dan alat-alat pertanian. Selain itu, rumah adat suku Dayak juga memiliki kandang hewah ternak yang menyatu di rumah, karena hewan peliharaan termasuk dalam harta kekayaan keluarga seperti babi, sapi dan anjing.

Rumah betang ini mencerminkan perilaku masyarakat Dayak yang mengutamakan persaudaraan dan kebersamaan.
Selain sebagai tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.

Nah lewat ulasan diatas kita sudah bisa menyimpulkan bawasannya suku Dayak aslinya seperti apa, jadi jika disana sampai ada kerusuhan dengan etnik lain itu dikarenakan salah satu etnik tersebut sangat tidak menghormati adat mereka.

Dan kami harap bangsa Indonesia damai dan bersatu selamanya.

Sumber : http://rumahadat.blog.com/

baca selanjutnya...

Minggu, 08 April 2012

Keunikan Gaya Hunian Betawi

TERAS rumah yang besar ditunjang dengan kekhasan bentuk serta ornamennya menambah daya tarik hunian bergaya Betawi. Bagian rumah paling depan ini menjadi area favorit untuk melakukan segala aktivitas bersama keluarga.

Hunian yang mengambil konsep adat Betawi sangat cocok diterapkan untuk kondisi geografis Indonesia. Ciri khas hunian ini sebenarnya sesuai dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di pesisir. “Jika dilihat dari segi budayanya, masyarakat Betawi sudah turun-temurun menghasilkan konsep arsitektur dan budaya dengan ciri khas corak yang kuat serta karakter yang khas,” kata desainer interior Denny Setiawan.

Rumah bergaya Betawi selalu menekankan pada konsep kekeluargaan dan hubungan masyarakat yang sangat erat. Hal ini bisa dilihat dari gaya bangunan yang punya ciri beranda atau teras agak luas. Teras ini berfungsi untuk menyambut tamu yang datang. Selain itu, rumah bergaya Betawi umumnya mengaplikasikan jendela yang lebar dan tidak lepas dari tanaman hijau untuk menambah keasrian rumah tersebut.

Jika Anda berniat membangun hunian dengan konsep Betawi, sebaiknya perhatikan beberapa elemen terpenting. Pertama, pembagian ruang dalam hunian bergaya Betawi adalah yang paling utama. Hunian bergaya Betawi tidak pernah lepas dari bagian teras, ruang tengah atau ruang keluarga, dan kamar- kamar. Ruangruang tersebut biasanya dibangun di sekitar ruang tengah dan dapur.

“Arsitektur hunian bergaya Betawi pada umumnya menggunakan desain rumah panggung karena masyarakat Betawi pada masa lalu tersebar dari pesisir pantai dan pedalaman. Ini menjadi satu ciri khas rumah Betawi sampai sekarang,” sebut Denny.

Sisi menarik rumah Betawi yaitu memiliki konsep keterbukaan, mulai penggunaan jendela yang dapat dibuka lebar hingga penggunaan pintu kayu yang selalu dibiarkan terbuka.

“Hunian Betawi selalu memiliki karakter yang kuat. Hal itu karena sifat orang Betawi yang mudah bergaul dan terbuka,” imbuh Denny.

Hunian bergaya Betawi juga dapat diaplikasikan pada rumah-rumah modern. Konsep keterbukaan ala rumah Betawi sangat bisa diterapkan dalam hunian modern dengan cara menggabungkan teras sebagai pengganti ruang tamu.

Rumah modern dapat didesain menggunakan bahan yang modern dan ditambah dengan penataan yang modern, juga tetap bisa menghadirkan konsep keterbukaan sehingga karakter Betawinya masih ada. “Pada dasarnya hunian adat Betawi bisa diterapkan pada hunian bergaya modern. Sebab, desain awal hunian Betawi memang cukup fleksibel dan mudah diterapkan pada tiap desain bangunan,” sebut Denny.

Konsep rumah Betawi mengenal hierarki atau pem-bagian ruang yang diatur, yaitu teras yang juga difungsikan sebagai ruang tamu di luar atau ruang publik. Ruangan yang kedua adalah ruang keluarga atau ruang semipublik, lalu ruang tidur dan dapur sebagai ruang yang memiliki nilai privasi tinggi.

“Dalam hunian Betawi, ruang publik adalah bagian yang bisa dimasuki oleh siapa saja. Sementara ruang semipublik adalah ruang yang dapat dimasuki orang-orang tertentu, sedangkan ruang privat bisa dibilang cukup terbatas dan hanya orang serta tamu tertentu yang boleh masuk ke situ,” beber Denny.

Jika ingin diterapkan pada rumah modern, pembagian ruang tersebut tidak lagi ada karena konsep hunian modern sifatnya lebih bebas dan tidak terkait adat. Rumah modern juga masih bisa mengikuti penataan ala rumah adat Betawi jika masih terkait dengan hierarki tersebut. Hal khusus lain, rumah Betawi biasanya terbuat dari kayu dan bambu yang menjadikannya sangat dekat dengan alam.

Kealamian yang dipancarkan dari beberapa elemen bangunan tersebut memunculkan kesan ramah dan keasrian pada rumah jenis ini. Sebaliknya, hunian modern kerap menghadirkan material seperti tembok yang menggunakan kaca, aluminium, dan sebagainya. Tampilan bernuansa etnik Betawi masih bisa dihadirkan dengan memadukan unsur kayu yang diukir dengan ukiran Betawi. Satu hal yang harus diingat bahwa untuk membangun konsep rumah Betawi dalam suasana modern, Anda harus mempertimbangkan sejauh mana konsep tersebut dapat dipergunakan.

“Untuk membuat konsep Betawi yang dipadukan dengan hunian modern, Anda harus melihat sisi materialnya. Yang pertama, apakah Anda masih ingin menggabungkan elemen kayu atau bambu, lalu penggunaan pendingin ruangan juga harus diperhatikan,” saran Denny.

Selanjutnya, bagian atap boleh dibuat sama dengan bentuk atap khas rumah Betawi. Soal materialnya, bisa menggunakan konstruksi baja ringan, misalnya. Atap genteng harus tetap dipertahankan sebagai ciri khas rumah Betawi.

Mengenai penataan ruang di dalam rumah, sebaiknya tetap mengikuti konsep hunian Betawi yang tradisional sehingga nilai asli rumah jenis ini masih dapat dirasakan. Ciri lain yang harus dihadirkan dalam hunian Betawi adalah konsep jendela dengan bukaan lebar.

Untuk pemilihan furnitur, yang tidak boleh tertinggal adalah bale-bale dan lampu hias yang menggantung di plafon teras. Di sisi lain, rumah adat Betawi tidak menggunakan sofa yang bernuansa modern. Penggunaan kursi kayu dengan ukiran Betawi adalah pilihan yang paling tepat untuk ditempatkan di rumah bergaya Betawi.

Sumber : http://lifestyle.okezone.com/

baca selanjutnya...

Rabu, 04 April 2012

Berbagai Tata Cara Adat Yang Berkaitan Dengan Prosesi Perkawinan Adat Banjar

Perkawinan adat orang banjar adalah satu aspek budaya Banjar yang harus dilestarikan kebudayaannya, karena prosesi perkawinan tersebut menjadi identitas dan jati diri orang banjar. Berbagai tata cara adat istiadat yang berkaitan dengan prosesi perkawinan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kecamatan Banjarmasin Barat Khususnya di kelurahan Teluk Tiram adalah menjadi wujud pelestarian budaya yang sangat bermanfaat bagi generasi muda dewasa ini. Khususnya upaya mempelajari tata kehidupan adat perkawinan masyarakat banjar sejak dulu sampai sekarang.

Suatu kehidupan yang paling menarik dan tak pernah terlupakan bagi individu masyarakat adalah acara “perkawinan”. Oleh sebab itu perkawinan tersebut selalu ditandai oleh sifatnya yang khas dan unik yang merupakan suatu tata traditional bagi setiap suku.

Dalam peristiwa itu selalu terjalin dengan harmonis ketentuan menurut agama dan adat istiadat sebagai lembaga tak tertulis yang dipatuhi tanpa pertentangan – pertentangan antara satu dengan yang lainnya dalam strata masyarakat adat.

Suku banjar sebagai salah satu suku bangsa Indonesia di Kalimantan Selatan yang juga mempunyai tata cara keadatan tentang peristiwa perkawinan itu, meskipun keadatan tersebut telah mengalami perubahan – perubahan secara evolusi.

Adat istiadat yang menurut kurun waktunya sangat menonjol adalah pada abad ke-18, suatu gambaran yang dapat dinilai secara fisik maupun psikis adalah pembauran antara peninggalan zaman Hindu, Islam dan pengaruh asing lainnya.

Secara kronologis, maka peristiwa perkawinan menurut adat suku Banjar dapat diuraikan sebagai berikut:

1. BASASULUH
Bilamana seseorang telah sampai saat ingin kawin lazimnya oleh keluarganya yang terdekat diadakanlah apa yang yang dinamakan “Basasuluh”. Yakni ingin mendapatkan keterangan tentang calon isteri yang diinginkan setelah mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga yang bersangkutan.

Beberapa hal yang ingin diketahui diantaranya:
1. Tentang agamanya
2. Tentang keturunannya
3. Tentang kemampuan rumah tangganya
4. Tentang kecantikan wajahnya

Dari empat hal tersebut di atas yang menjadi titik tumpu perhatian itu adalah pada dua hal yaitu agama dan keturunannya. Sebaliknya, bagi keluarga calon isteri di samping hal di atas, akan diperhatikan pula apakah lapangan pekerjaan calon suaminya tersebut. Hal itu sangat penting karena akan turut menentukan nilai rumah tangga mereka kelak.

2. BADATANG
Pihak keluarga pria pada saatnya yang diberitahukan sebelumnya, dating dengan beberapa orang ke rumah calon isteri yang disebut dengan istilah “badatang”. Kedatang ini diterima antara kedua keluarga calon suami isteri itu secara traditional biasanya lahirlah dialog yang mempunyai versi prosa liris bahasa daerah Banjar yang umumnya disebut Baturai Pantun, yakni berbalas pantun antara keluarga pihak calon.

Adat orang banjar tidak mengenal istilah Batunangan atau Bapacaran. Istilah ‘Balarangan’ tidak sama dengan istilah ‘Batunangan’, karena belarangan adalah suatu perencanaan ancer – ancer para pihak orang tua masing – masing, ketika kedua anak masih remaja.

Menurut adat seorang gadis yang akan kawin, maka untuk selama 40 hari sebelumnya dia tidak diperkenankan keluar rumah.
Selama itu dia harus membersihkan diri, berlangsir mempercantik dirinya, yang disebut dengan istilah ‘bekasai’, sekaligus dia diberi beberapa nasehat.

3. NIKAH
Yang dimaksud dengan nikah adalah upacara keagamaan untuk melangsungkan ijab kabul di hadapan seorang penghulu dan saksi – saksi. Acara ini sering kali juga disebut ‘Meantar Jujuran’.

4. BATIMUNG
Bagi pengantin pria maupun wanita terutama menjelang hari persandingan dua atau tiga hari sebelumnya, maka pada malam harinya harus melaksanakan mandi uap yang dikenal dengan istilah ‘Batimung’. Diharapkan dengan batimung ini akan menguras habis keringat tubuh, menyehatkan dan mengharumkan tubuh pengantin tersebut. Dengan demikian pada saat persandingan nanti kedua pengantin tidak akan berkeringat lagi.

5. MANDI – MANDI
Pada waktu pagi hari menjelang acara persandingan siang, pengantin wanita melangsungkan acara mandi – mandi pengantin dengan air yang ditaburi macam – macam bunga. Pada daerah Kuala kadang – kadang disebut dengan istilah ‘Badudus’ atau ‘Bapapai’ dengan mayang Pinang. Jumlah bunga – bunga yang dioerlukan lebih banyak dan lebih berkesan sebagai salah satu upacara.

Acara mandi – mandi dilakukan oleh tiga orang wanita tua yang telah berpengalaman, yang umumnya dipimpin oleh seorang bidan kampong atau wanita tua lainnya. Selesai mandi, pengantin wanita disuruh menjejak telur ayam sampai pecah dengan ujung tumit. Ketika itu juga pengantin wanita tersebut dicukur yaitu dengan istilah ‘Belarap’, membikin cecantung pada kiri kanan wajahnya. Biasanya kemudian diikuti acara selamatan kecil dengan nasi lamak (ketan) berinti gula merah dan pisang mauli.

6. BATAPUNG TAWAR
Seiring dengan acara mandi – mandi tadi pada saat itu juga diadakan acara ‘batapung tawar’, dimaksudkan sebagai penebus atas berakhirnya masa perawan bagi seorang wanita. Untuk itu disediakan apa yang dinamakan ‘piduduk’, yaitu seperangkat keperluan pokok bahan makanan dalam wadah sasanggan (bokor kuning) yang terdiri dari sagantang beras, sebiji nyiur, gula merah, seekor ayam betina hitam, telur ayam tiga butir, lading, lilin, sebiji uang bahari (perak), jarum dengan benangnya, sesuap sirih, rokok daun, dan rerempah dapur. Isi piduduk: beras melambangkan rezeki, nyiur melambangkan lemak (kehidupan), gula merah lambing manis (kehidupan), ayam lambing cangkal becari, telur ayam lambang sum-sum, lading makna semangat yang keras, lilin lambang penerangan, uang lambang persediaan dalam hidup, jarum dan benang lambang ikatan suami isteri, sesuap sirih lambang kesatuan, rokok daun lambang kelaki-lakian, rerempah dapur lambang keterampilan kerja di dapur.

Selanjutnya seluruh isi piduduk ini diberikan kepada bidan kampong yang memimpin acara mandi – mandi.
Untuk yang hadir pada acara betapung tawar disuguhi air teh manis atau kopi dengan kue, bubur habang bubur putih, cucur, wadai gincil, wadai galang, dan lakatan ber-inti.

7. BATAMAT AL-QUR’AN
Baik pengantin pria maupun pengantin wanita pada waktu menjelang acara persandingan biasanya melangsungkan acara betamat Qur’an yakni membaca kitab suci Al-Qur’an sebanyak 22 surah yang dimulai dari surah ke 93 (Ad-Dhuha) sampai dengan surah ke 114 (An-Nas) ditambah dengan beberapa ayat pada surah Al-Baqarah, ditutup dengan do’a khatam Qur’an, pembaca do’a biasanya guru mengaji pengantin tersebut.
Suatu kebiasaan yang unik dan lucu, ialah apabila pengantin telah sampai pada bacaan surah ke 105 (Al-Fiil) biasanya ramailah anak-anak dan remaja di sekitar itu memperebutkan telur masak sekaligus memakannya. Sebab menurut cerita konon yang mendapatkan telur masak itu akan menjadi terang hatinya, cepat menjadi pandai membaca kitab suci Al-Qur’an.

8. WALIMAH
Yang dimaksud dengan ‘walimah’ ialah suatu pesta perkawinan dalam rangkaian acara-acara perkawinan tersebut. Besar kecilnya walimah ini trgnatung pada kemampuan keluarga ‘ahli bait’ masing.

Menurut adat orang Banjar maka pohon (ahli bait atau tuan rumah) tidak aktif untuk bekerja dalam persiapan itu. Justru tetangga lah yang akan melaksanakan semua tugas-tugas, yang dibentuk semacam kepanitiaan yang disusun secara lisan saja.

Biasanya membagi-bagi tugas sebagai berikut:
1. Nang jadi kepala gawe (pimpinan kegiatan)
2. Nang meurus tajak sarubung (mendirikan tenda)
3. Nang meurus pengawahan (bagian masak nasi dan ikan)
4. Nang meurus karasmin (mengurus kesenian)
5. Nang besaruan lalakian (pengundang untuk pria)
6. Nang besaruan bebinian (pengundang untuk wanita)
7. Nang menerima saruan (penerima tamu)

Dalam susunan pembagian tugas ini jelas terlihat bahwa sifat kegotong-royongan merupakan adat yang sangat menonjol sekali bagi para tetangga, tanpa diminta akan memberikan tenaga dan jasa-jasanya untuk kepentingan pelaksanaan perkawinan tersebut.

9. PETATAIAN
Petataian (pelaminan) dibuat secara khusus yang merupakan ciri khas banjar yang biasanya diletakkan tepat di ‘tawing halat’ (dinding batas tengah rumah) atau yang lazim disebut balai kencana. Terdapat juga yang dibangun khusus yang disebut balai warti yang terdiri dari tempat duduk untuk dua orang pengantin pria dan wanita yang berlatar belakang air Gucci yang gemerlapan dan pada kiri kanannya agak kebelakang tersusun bantal yang bersarung merah atau kuning bersulam benang emas, yang disebut ‘tetumpangan’. Di belakang tetumpangan terdapat pucuk tetumpangan yang berbentuk segitiga sama kaki dengan ornamen yang serasi dengan tetumpangannya. Di situ tersedia pula sesajian di atas piring kuningan besar yang diletakkan di atas bokor sesanggan kuningan.

10. BATATAIAN
Merupakan puncak dari acara perkawinan menurut adat banjar ini adalah pada upacara betataian (bersanding) pada tempat petataian. Acara ini yang dianggap paling bahagia oleh kedua pengantin ataupun keluarga mereka.
a. Pengantin wanita.
Pengantin wanita dengan tat arias pengantin bak amar gelung pancar matahari, baju lenagn pendek yang berendas epanjang pinggirannya, dikenal dengan nama baju poko. Dipangkal kedua tangannya terpasang kilat bahu dan gelang tangan jenis gelang tabu-tabu dilengkapi dengan menggunakan sepasang gelang kaki emas berbentuk akar atau buku manisan.
b. Pengantin Pria
Pakaian pengantin pria mengenakan baju jas buka yang terdiri dari baju bagian dalam warna putih, baju luar jas buka dengan warna yang sesuai dengan warna celana. Tutup kepala disebut laung tutup yang mempunyai cirri khas banjar tersendiri yaitu simpul laung dalam bentuk ‘lam djalalah’, memakai kalung samban dengan bogam melati sebanyak tiga atau lima, membawa kembang palimbaian menuju rumah pengantin wanita.
c. Tahap-tahapan betataian
a. Pengantin pria diantar
b. Betawak nasi lamak
c. Sujud dan makan bersama
d. Usung jinggung dan diarak


11. KELAMBU PENGANTIN
Begitu pentingnya kelambu pengantin ini bahkan menjadi suatu ukuran bagi orang untuk melihat sampai dimana kemampuan kepala keluarga yang sedang berminantu itu.
Kelambu ini selalu ditempatkan di kamar depan sebagai suatu bagian rumah yang utama, yakni ruangan tempat tidur sebelah kanan rumah banjar bahari, atau rumah bubungan tinggi (rumah beanjung). Karena pada waktu itu belum mengenal atau belum banyak mengenal ranjang. Kelambu itu digantung di ruang anjung dalam bentuk segi empat yang umumnya mempergunakan warna putih atau kuning muda. Di atas kelambu di pasang langit-langit dari kain yang agak tipis dengan sulaman kembang pancar matahari.

12. PENUTUP
Dalam kurun waktu yang panjang, adat istiadat atau tradisi perkawinan adat banjar ini mengalami beberapa perubahan baik tentang acaranya, busana atau sarana perlengkapan lainnya, sepanjang tidak menggeser keaslian tradisionalnya. Upaya-upaya para budayawan, perias pengantin banjar, dan penataan busana pengantin memang telah mengambil langkah-langkah untuk menetapkan suatu standar yang baku. Hal ini sangat penting agar ciri khas perkawinan adat banjar tersebut dapat terpelihara secara lestari.

Demikian urut – urutan prosesi perkawinan adat banjar yang masih diterapkan di lingkungan penduduk masyarakat Kalimantan selatan pada umumnya dan khususnya suku banjar yang berada di pinggiran kotamadya Banjarmasin yaitu di kelurahan teluk tiram kecamatan Banjarmasin barat.

SAJIAN ASTAKONA

Astakona adalah suatu istilah dari sastra Indonesia lama yang berarti segi banyak. Nasi astakona merupakan gambaran dari banyaknya sajian dari yang dihidangkan pada suatu tempat, khusus dari talam yang bertumpang ‘banyak’ tiga atau lima susun. Banyaknya sajian itu merupakan sebuah kesatuan hidangan yang terdiri atas tiga komponen pokok makanan, yaitu nasi, lauk pauk, dan buah – buahan. Hidangan nasi astakona berasal dari tradisi kesultanan banjar untuk suatu upacara tertentu atau santap bersama dengan adanya tamu kehormatan. Namun dalam kurun waktu selanjutnya disajikan dalam acara ‘bededapatan’, yaitu santap bersama bagi pengantin setelah bersanding di pelaminan (betataian).

Pencicipan nasi astakona.
Secara simbolis penyendokkan pertama nasi astakona diambil dengan sendok kayu oleh seorang tokoh wanita tua dan menyerahkannya kepada tamu kehormatan. Bilamana dalam acara penganten, nasi tersebut diserahkan kepada kedua pengantin, selanjutnya diikuti oleh hadirin sesuai dengan kedudukan dan situasinya. Astakona sejak lama lazim tidak mempergunakan alat makan seperti sendok dan garpu karena di situ tersedia pula air tempat cuci tangan dan serbet kain.

Latar belakang filosofis.
Nasi astakona sesungguhnya memiliki makna filososfis dalam tata kehidupan orang banjar, hal itu dapat dilihat dan dihayati pada beberapa sarana dan bagian – bagian penyajian.

Talam dalam jumlah tiga atau lima menunjukkan jumlah yang ganjil, dimana dalam setiap bilangan dan sarana masyarakat banjar selalu menggunakan angka ganjil.
Makanan terdiri dari tiga komponen pokok (nasi dari beras/padi yang tumbuh di tanah, lauk pauk dari ikan yang hidup di air, dan buah-buahan yang tinggi di udara) adalah menggambarkan keterikatan hidup manusia dengan tanah, air, dan udara.

Dalam beberapa momen tertentu orang banjar selalu mendahulukan peranan orang tua (termasuk pengambilan pertama secara simbolik nasi astakona) sebagai lambang penghormatan terhadap orang yang memiliki kelebihan dalam hal usia, pengalaman, kewibawaan, dan afdhol (keutamaan dan barakat)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan. Perkawinan adat orang banjar adalah satu aspek budaya banjar yang harus dilestarikan kebudayaannya, karena profesi perkawinan tersebut menjadi identitas dan jati diri orang banjar sehingga keberadaannya perlu dilestarikan dan dibudayakan sehingga menjadi pengetahuan luas yang bermanfaat bagi generasi muda dewasa ini khususnya upaya mempelajari tata kehidupan adat perkawinan masyarakat banjar sejak waktu dulu sampai sekarang.

Saran. Dalam hubungan ini hendaknya disadari oleh para perias pengantin banjar agar tidak terpengaruh oleh tat arias dari luar daerah dan bahkan mungkin berakibat merekayasa menurut seleranya sendiri sehingga bias keluar dari tradisi dan tata adat banjar yang asli. Manakala hal itu terjadi maka keaslian dan kelestarian yang kita harapkan akan tercemar karenanya.

PENUTUP
Demikian tulisan ini disusun dengan harpan dapat bermanfaat dan sebagai bahan masukan bagi para pemegang otoritas serta untuk melengkapi tulisan lain yang sudah ada sebelumnya.



Sumber : http://cupep.blogspot.com/2011/04/perkawinan-adat-banjar.html
Gambar : http://rizmarizma.blogspot.com/2011/02/pernikahan-adat-banjar.html

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP