Minggu, 24 April 2011

Komunitas Basis dan Credit Union

Pengantar
Ada yg mengatakan: Jika engkau melihat seorang budak tertidur, jangan bangunkan dia. Mungkin dia sedang bermimpi tentang kebebasan. Tetapi aku berkata lain: Jika engkau melihatnya tertidur, bangunkan dia dan ajaklah dia berbicara tentang kebebasan".

Evangelisasi baru dalam kehidupan meng-Gereja pada zaman ini tidak lagi mefokuskan diri pada bentuk pelayanan Gereja Borjuis atau Gereja pemelihara umat dengan misi Sosial Karitatif melainkan Gereja sebagai Communio umat beriman. Paham Gereja sebagai Communio dalam perjalanan refleksi teologis dan eklesiologis melahirkan sebuah pemahaman baru atas inti iman akan Yesus yang dikonkretkan dengan situasi hidup nyata manusia (Fides historica).

Komunitas Basis Gerejani (KBG) adalah paham baru mengenai bagaimana cara hidup mengereja dalam dunia modern ini. KBG menempatkan Kristus sebagai pusat hidup orang beriman yang dibangun melalui pelbagai olah kesalehan (sakramen dan sakramentalia) dan buah-buah dari kesalehan itu diharapkan dapat menjadi garam dan terang dunia. Terisitmewa nilai-nilai eskatologis yaitu janji pengharapan dan solidaritas sudah dihayati dalam ruang dan waktu menuju pada sebuah kepenuhan.

Namun sering terjadi bahwa cara penghayatan iman zaman ini belum mengarami dunia. Terjadi dualisme hidup antara yang sakral dan profan, saleh dan berdosa, iman dan dunia, dan sebagainya terpisah satu sama lain. Karena itu Credit Union dapat menjadi suplemen dalam membangun KBG sebagaimana cara hidup yang dihayati oleh komunitas umat perdana.

A. Pengertian Beriman

Beriman secara kristiani adalah anamnesis/mengenangkan perkataan dan perbuatan Yesus dalam sejarah melalui pewartaan, penderitaan, wafat dan kebangkitaNya. Jelas bahwa iman bukanlah masalah metafisika melainkan historis (fides historica), karena pengalaman akan Allahmemuncak pada fakta peristiwa Yesus yang menyejarah. Dengan demikian iman akan Yesus lahir dalam ruang dan waktu. “Iman Kristen merupakan suatu praksis dalam sejarah dan masyarakat yang harus dilihat sebagai pengharapan dalam kesetiakawanan/solidaritas dalam pribadi Yesus, sebagai Allah dari orang hidup dan mati, yang memanggil semua orang untuk menjadi subjek dihadapanNya”.

Pengharapan akan solidaritas Allah tidak dapat kita pahami, jika terpisah dari keterlibatan Yesus dalam sejarah dan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud adalah pengharapan dalam solidaritas. Dan solidaritas Allah ini tidak hanya dialamatkankepada pihak yang menang dan hidup tetapi bagi mereka yang kalah, gagal, berdosa dan mati. Inilah universalitas dan keadilan Allah.

Dasar pengharapan kekristenan adalah peristiwakebangkitan Kristus. Kebangkitan adalah sebuah pembaharuan, bahkan revolusi bagi semua orang yang kalah dan menderita. Mereka yang kalah dan menderita adalah subjek yang tidak memiliki akses hidup yang lebih manusiawi; dalam hal kesejahteraan ekonomi, pendidikan, kesehatan bahkan kesempatan dan peluang. Mereka yang tergolong kalah dan menderita adalah pribadi-pribadi secitra dengan Allah sendiri dimana hidup manusiwai mereka di pertaruhkan dengan kematian. Karena itu, iman kekristenan harus diartikulasikan dengan memoria Christi kenangan akan Kristus. Dengan istilah memoria Christi mau mengungkapkan bahwa orang yang beriman kristiani percaya akan corak historis yang terdapat misteri Kristus sebagai pembebas. Dengan demikian menjadi jelas bahwa iman kristen bukanlah pertama-tama menyangkut sistem moral atau etika melainkan pengharapan, janji akan pembebasan menyeluruh di masa depan. Karena itu, orang kristen tidak bisa mengelakkan tanggung jawabnya di dunia termasuk mengentaskan kemiskinan dan penderitaan serta mengangkat mereka sebagai subjek secitra dengan Allah sendiri. Pengharapan dalam solidaritas adalah kesetiakawanan bagi mereka yang menderita, dilupakan dan mati.

B. Halangan Beriman dalam Zaman ini

Kita saat ini hidup dalam periode sejarah yang baru, dengan segala perubahan-perubaha nyang tersebar luas di seluruh dunia. Perubahan tatanan dunia ini karena kepandaian dan kreativitas manusia dalam mengembangkan ide-idenya untuk memperbaharui dunia. Perubahan disatu sisi mendekatkan manusia secara universal dengan segala kemudahan, tetapi disisi yang lain manusia juga merasa bersalah dan tidak berdaya menyaksikan arus perubahan itu sendiri. Manusia diobang-ambingkan oleh pelbagai pilihan dan trend hidup yang mengarah pada keberhasilan lahiriah dan mengutamakan rasionalitas yang cenderung sekular, otonom dan pragmatis.

1. Manusia Sekular

Manusia modern membangun hidupnya lebih sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi, dengan struktur-sturktur dunia sesuai dengan perkembangan masyarakat daripada tuntutan-tuntutan agama. Dalam Novel The Man Without Qualities yang dikutip oleh J.B. Metz manusia sekular terbagi dalam beberapa kategori: profesi, suku bangsa, negara, kelas, letak geografis, jenis kelamin, kesadaran, ketidaksadaran,dan privatisasi. Pluralisme demikian begitu menyatu dalam hidup manusia sehingga iman bahkan bergama di pandang sebagai salah satu bidang hidup yang terpisah dari ketegori-kategori tersebut. Iman seakan-akan tidak dapat diintegrasikan dalam pluralisme hidup manusia. Keterlibatan manusia dalam dunia, melalui profesi maupun relasi personal dengan orang lain tidak dilihat sebagai panggilan hidup yang dilandasi oleh iman, tetapi semata-mata pilihan pribadi manusia.

2. Manusia Otonom

Gerakan yang mengusung kebebasan dan otonomi manusia dalam pelbagai aspek kehidupan menjadi salah satu penghalang dalam penghayatan iman. Manusia zaman ini ingin menjadi tuan atas dirinya sendiri, terputus dari segala ikatan spiritual yang metafisik, tradisional dan usang. Segala tatanan nilai yang ada dalam masyarakat termasuk nilai spiritual itu sendiri dilihat sebagai penghalang bagi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Nietzsche mengkumandangkan lonceng kematian Allah. Kedudukan Allah telah diganti oleh kaum humanis dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Manusia sendiri mengambil alih peranan dari yang sakral untuk menaklukan yang chaos, dengan demikian manusia mengatur dunia menjadi tempat kediaman yang aman. Inilah sikap otonom mutlak yang diperjuangan manusia modern dari semua nilai-nilai transenden, termasuk Gereja dengan segala ajarannya dilihat sebagai penghalang bagi otonomi manusia.

3. Manusia Pragmatis

Manusia prgamatis memandang segala sesuatu berdasarkan fungsi atau kegunaan. Maka segala hal yang sifatnya abstrak dan konseptual teoritis tidak berarti karena tidak mendatangkan manfaat bagi manusia. Demikian juga dengan kebenaran ilmu pengetahuan bukan ada dalam dirinya sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kehidupan konkret. Ilmu pengetahuan hanya berguna sejauh memberikan manfaat konkret dan praktis atas hidup manusia. Demikian juga dengan pemahaman tentang iman kristen. Bahwa kebenaran akan iman kristen sejuah mendatangkan keuntungan riil bagi hidup manusia. Diluar asas manfaat atau pragtis akan ditolak. Dengan demikian manusia sendiri telah memanipulasi sesamanya melalui sistem-sistem konsumen dan pendidikan politik di bawah suatu kuasa otoritas. Manusia menjadi homo manipulator. Ia mamanipulasi alam, dirinya sendiri bahkan Allah ke dalam bingkai praktis.

C. Gereja dan Dunia Mencari Jalan Masing-Masing

Krisis agama Kristen dalam zaman modern ini adalah krisis identitas. Krisis ini lahir dari pandangan Gereja sendiri yang menekankan dimensi iman yang sering bersifat teoritis, sakral, transeden dan personal; spiritual pribadi, paham tentang dosa secara pribadi, bahkan keselamatan eskatologis juga bersifat pribadi atau privat. Dengan demikian maka konsekuensinya segala realitas dunia dengan sejarahnya dinilai sebagai medan dosa dan sedapat mungkin dijauhkah. Atau paham misi dengan sosial karitatif hanya demi penambahan anggota dan eksklusif dalam komunitas gereja itu sendiri.

Pandangan dengan pola misi karitatif menempatkan Tuhan begitu jauh dari kenyataan hidup manusia. Bahkan gereja dengan segala bentuk hidup berusaha mengisolir diri di tempat-tempat terpencil dengan anggapan bahwa Tuhan hanya bisa dijumpai dalam komunitas yang terpisah jauh dari kenyataan hidup konkret. Dunia dinilai sebagai medan penuh godaan dan dosa maka sejauh dapat dihindarkan. Yesus yang semula dikenal sebagai Rabbi Yahudi yang berdarah daging makin lama makin dilukiskan sebagai Makhluk Surgawi yang dapat dijumpai bukan di tengah dunia yang berdarah daging melainkan hanya dalam alam surgawi. Dan sampai saat ini masih banyak sebahagian orang Katolik beranggapan bahwa Gereja termasuk para pemimpinnya membatasi diri pada hal-hal yang sifatnya rohani saja dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari hal-hal duniawi. Tugas Gereja adalah membantu manusia masuk dalam Kerajaan Spiritual, di mana manusia dapat menemukan keselamatan. Ini berarti masalah sosial, politik dan ekonomi bukan tugas Gereja, termasuk berhadapan dengan kemiskinan, kekerasan, kegagalan dan ketertindasan. Jika paham ini masih menjadi alasan pembenaran maka peristiwa inkarnasi Allah menjadi manusia pun ditolak. Bahkan paham iman sebagai historica Chirsti pun ditolak dan diganti dengan sebuah janji maya yang menghibur.

Refleksi iman kristen saat ini tidak bisa dipisahkan dari dunia karena dunia sebagai locus inkarnasi. Gereja tidak bisa mengutuk segala perkembangan dunia sebagai penentang keselamatan melainkan Gereja sendiri harus merumuskan kembali konsep keselamatan berhadapan dengan perubahan zaman. Karena jalinan dan interaksi Gereja dan dunia/masyarakat saling mempengaruhi. Maka Metz menawarkan agar dimensi iman yang bersifat pribadi harus diganti dengan pengertian iman kristen sebagai a throughly social human being. Dalam surat 1 Petrus 3:15 menandaskan bahwa orang kristen maupun Gereja secara institusi di dunia harus bertanggungjawab untuk meyakinkan dunia dan masyarakat akan nilai-nilai eskatologis yang telah diwariskan Kristus kepada Gereja. Gereja harus terus-menerus membangun dialog dengan dunia, karena Gereja akan kehilangan identitasnya jika menghindar dari kenyataan dunia. Dalam hubungan interaksi tersebut Gereja harus tampil sebagai lembaga yang profetis kritis sehingga tidak tenggelam dalam dinamika masyarakat dan dunia.

D. Komunitas Basis Gerejani

Keterlibatan Gereja dalam dunia dan masyarakat hanya bisa dibangun apabila Gereja sendiri tidak lagi manampilkan cirinya sebagai lembaga borjuis dan karitatif atau lembaga pemelihara umat dengan target banyak anggota melainkan Gereja basis yang membangun solidaritas dan pengharapan secara bersama-sama. Gereja Basis yang di munculkan Metz dalam teologi politknya sebagai perwujudan model Gereja yang efektif yang melahirkan sebuah kesadaran baru dalam komunitas akan situasi hidup yang dihadapi. Mungkin corak hidup Jemaat Perdana dalam Kisah Rasul menjadi model spirit komunitas.

Gereja basis ini dalam perkembangan di sebut dengan istilah Komunitas Basis Gerejani (KBG), atau Gereja akar rumput menjadi sebuah tawaran baru dalam hidup meng-Gereja. Cara baru meng-Gereja (KBG) ini bukan untuk membentuk komunitas eksklusif ditengah keragaman atau pluralisme melainkan bertujuan menjadikan Kristus sebagai pusat hidup orang beriman dan membawa pesan Yesus ke tengaah dunia. Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam ber-KBG hidup umat beriman digerakkan oleh Roh Allah sendiri.

Komunitas Basis Gereja tidak lagi dipahami sebagai model lembaga Borjuis melainkan kumpulan orang-orang yang percaya akan Kristus mengadakan penegasan-penagasan. Atau dengan kata lain, dalam KBG terjadi refleksi iman bersama kemudian iman tersebut mengerakkan orang untuk bertindak/beraksi dan kembali mengadakan sharing/berefleksi lagi. Dalam karakteristik membangun KBG unsur-unsur yang harus menjadi central point adalah.

E. Credit Union

Banyak orang menilai bahwa dalam Credit Union/Koperasi uang menjadi yang terpenting. Pada hal lahirnya Credit Union sebenarnya berangkat dari sebuah keprihatinan kolektif atas situasi hidupnya yang mengekang dan memperbudak. Dari kesadaran tersebut, terjadi kesepakatan-kesepakatan tentang moral dan etika dalam hidup bersama. Apa yang penting dalam hidup manusia yang seharusnya diperjuangkan agar hidup lebih manusiawi.

Gerakan Credit Union menitiberatkan dan memprioritaskan manusia sebagai subjek dalam kelompok. Ada tatanan nilai-nilai yang harus menjadi kesadaran bersama, misalnya ketekunan dan kesetiaan pada kerja, tanggung jawab, kepercayaan, kejujuran, solidaritas, keadilan, keterbukaan, demokrasi, dan pendidikan dan pemberdayaan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam Credit Union (CU) uang bukanlah yang akhir melainkan sarana/alat menuju akhir. Sebagaimana dikatakan Raiffesion Money is not an end in itself, but a means to an end: “. . . Sarana untuk memperbaiki kondisi anggota di setiap hal dengan hormat. Target utamanya adalah pengembangan kekuatan moral dan phisik. Ini adalah syarat mutlak dari semua perkembangan.”

Dalam Credit Union dibangun tiga fondasi vital yakni pendidikan, solidaritas dan swadaya. Ketiga fondasi ini sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana lembaga ini membantu orang-orang yang bergabung didalamnya untuk mencapai kesejahteraan hidup secara manusiawi. Kesadaran kolektif akan kebutuhan dan kesejahteraan manusiawi ini menghilangkan pelbagai sekat perbedaan, baik agama, ras, pandangan politik, dan sebagainya. One heart many faces. Satu pengharapan untuk membangun dialog hidup dan terjalin persaudaraan, kekeluargaan dan rasa setiakawan.

Kesetiakawanan dengan semboyan: “.. anda susah saya bantu dan saya susah anda bantu…” menjadi hukum yang mengikat anggota satu sama lain. Individualisme yang diagung-agungkan sangat bertentangan dengan fondasi Credit Union. Maka dalam Credit Union, total life dan dialog hidup antara sesama manusia menjadi kunci dalam membangun persatuan dan kebersamaan.

Raiffesion mengatakan: “Saya tdk dpt menawarkan keajaiban kepada anda dimana akan bisa bebaskan dari kemiskinan tanpa ada usaha dari sisi anda. Tetapi ada satu cara dimana setiap orang dapat mengikutinya, bila semuanya bekerja bersama utk hal umum yang baik, dapat mencapai maksudnya – bebas dari keinginan” bebas dari keinginan.”

Topik kemiskinan saat ini bukan sekedar ranah politik dan sosial melainkan sebuah kenyataan yang kita hadapi bahkan kita alami sendiri setiap hari. Kemiskinan secara ekonomi akan berdampak pada kemiskinan yang lainnya. Atau dengan kata lain, orang miskin mempunyai masalah yang kompleks. Dan usaha untuk membantu memberantas orang miskin secara khusus di Indonesia melaluiAda yg mengatakan: Jika engkau melihat seorang budak tertidur, jangan bangunkan dia. Mungkin dia sedang bermimpi tentang kebebasan. Tetapi aku berkata lain: Jika engkau melihatnya tertidur, bangunkan dia dan ajaklah dia berbicara tentang kebebasan". pelbagai program pemerintah, toh kemiskinan tetap ada. Ada gerakan sosial karitatif bertujuan membantu orang-orang miskin toh tidak bisa menyelesaikan sampai pada akr kemiskinan. Karena itu cara yang ditawarkan Raiffesion melalui Credit Union adalah bahwa “..hanya orang miskin yang dapat membantu orang miskin…” atau hanya orang miskin yang dapat membantu dirinya sendiri.

Kesimpulan

Komunitas Basis Gerejani dan Credit Union sebagai Suplemennya

Ada beberapa karakteristik untuk menilai keberhasilan Komunitas Basis Gereja, antara lain: pertama, komunitas yang mempunyai kesadaran akan hidup totalnya (awareness). Yang termasuk didalamnya adalah harapan, perjuangan, dan impian dari anggota-anggotanya. Melalui KBG dan dengan suplemen Credit Union maka anggota menyadari kekuatan-kekuatan dan situasi-situasi yang membuat anggota tidak bebas dan diperbudak. Kedua, komunitas yang berefleksi dan mengadakan penegasan-penegasan. Meskipun dalam Komunitas Credit Union, tidak mendasarkan dominasi ajaran iman kepercayaan tertentu didalamnya, namun setiap anggota diajak melalui pendidikan dasar CU, merefleksikan sebab-sebab kemiskinan dan bagaimana bisa keluar dari kemiskinan itu sendiri. Kami percaya uang dan investasi tidak mengenal pengkotak-kotakan berdasarkan SARA dan sebagainya. Komunitas Basis dikumpulkan berdasarkan pengalaman iman yang sama, namun di Komunitas Credit Union disatukan oleh pengharapan dan kasih. One Heart Many faces. Para anggota di CU dimotivasi untuk menjadi agen perubahan atas hidup mereka sendiri dan masyarakat pada umumnya. Ketiga, Komunitas yang menyembuhkan dan meperdamaikan. Benar terjadi bahwa sering ada gesekan-gesekan menyangkut mayoritas dan minoritas dalam pluralisme di Indonesia. Ketika berbicara soal dogma iman maka masing-masing akan membenarkan agama masing-masing. Ada image buruk atas kejahatan dengan mengeneralisir agama kepercayaan tertentu, ada kebebasan beragama di daerah-daerah tertentu masih diliputi ketakuatan. Namun dalam komunitas Credit Union, pengharapan dan kasih benar-benar mempersatukan. Dan kami percaya bahwa hanya kerinduan dan harapan manusiawi akan terpenuhnya kesejahteraan hidup yang dapat menyembuhkan dan memperdamaikan. keempat, Komunitas Basis adalah komunitas yang terorganisir. Bahwa dalam Komunitas Basis Gerejani (KBG) seluruh potensi anggota dan karisma masing-masing diberdayagunakan untuk pembangunan dan pengembangan KBG itu sendiri. Sama halnya dengan Credit Union (CU), bahwa segala potensi yang ada pada anggota betul-betul dimanfaatka. Walaupun CU lahir bukan karena keterpaksaan melainkan tumbuh dari kesadaran kolektif namun tetap sebagai sebuah organisasi yang memiliki struktur dan aturan yang mengaturnya. Kelima, KBG terbuka bagi masyarakat luas (open to society) . Bahwa KBG dapat membebaskan sejauh masing-masing anggota memiliki kesadaran akan pengharpan, dapat mengkritisi situasi hidup yang membelenggu sekaligus menawarkan sebuah solusi. Dalam CU, nilai keterbukaan juga menjadi dasar di mana setiap orang dalam jumlah besar dapat bergabung didalamnya. Keterbukaan untuk menerima siapa saja yang ingin bergabung didalamnya dan mau bekerja sama dengan siapa saja. Keenam, Kounitas yang berkaitan dengan hidup seutuhnya (total life). KBG menawarkan bahwa ada aspek pembebasan berupa spiritual, ekonomis, politik, sosial, keluarga dan kultural. Aspek-aspek yang terkandung dalam KBG tersebut menadi nilai-nilai dan fondasi untuk berdiri kokoh kuatnyaCredit Union. Credit Union walaupun menjadi lembaga jasa keuangan tetapi segenap prodak pelayanan tetap mengacu pada semua dimensi hidup manusia. Ketujuh, KBG mendatang pembebasan integreal bagi anggota. Kekuatan-kekuatan yang menghambat kemanusiaan yang utuh dan kekuatan yang merendahkan martabat manusia. KBG menyediakan kesempatan bagi anggota komunitas untuk mencapai taraf kemanusiaan yang lebih penuh. Juga dalam CU, integral liberation, menjadi syarat mutlak yang terkandung dalam visi dan misi serta motto lembaga kami: Sivis pacem para humaniorem Solitudinem. (Jika engkau menghendaki kedamaian (lahir batin) siapkanlah ketentraman yang lebih manusiawi). @@FX.

Sumber : http://cupkasih.wordpress.com

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP