Senin, 18 April 2011

Spiritualitas Pembina Kaum Muda Katolik

Dewasa ini “spiritualitas” merupakan sebuah istilah yang sangat populer, khususnya di kalangan orang Kristen. Sebagai istilah, Spiritualitas muncul pertama kali di Prancis yang sudah digunakan abad 17 di kalangan lingkungan Katolik. Perkembangan selanjutnya pemakaian istilah Spiritualitas sudah meluas kepada orang kristen lainnya, termasuk orang-orang Protestan Evangelis. Demikianlah dimana-mana orang berbicara dan merasa membutuhkan suatu Spiritualitas. Tokoh-tokoh tertentu teologi Pembebasan mengadakan kritik diri dan mengakui bahwa teologi tersebut memerlukan suatu spiritualitas.

Menurut Hans Urs von Balthasar, Spiritualitas adalah sikap dasar praktis atau eksisitensial manusia yang merupakan konsekuensi atau ekspresi dari cara bagaimana ia mengerti eksisitensi keagamaannya. Dengan kata lain eksisistensi-eksistensinya, dalam ia bertindak atau bereaksi secara tetap dalam seluruh hidupnya menurut tujuan dan pemahaman-pemahaman serta keputusan-keputusannya yang dasariah.

Definisi di atas menampilkan unsur-unsur pokok pengertian umum spiritualitas. Pertama, ia mendasarkan bahwa spiritualitas berkenan dengan sikap dasar manusia, entah sebagai individu ataupun kelompok. Sikap dasar tersebut terbentuk dan didasari oleh sistem nilai mutlak agama (atau idiologi) yang dianut. Perkembangan selajutnya, definisi ini berkembang tidak hanya batas pada hidup batin melainkan menyangkut keseluruhan tingkah laku manusia pada setiap saat dalam kehidupannya. Manusia sebagai subyek spiritualitas tetaplah satu roh dalam dunia atau roh badani tersendiri. Dimana rohnya merupakan aspek sentral, dan ini berarti bahwa dia berada dalam sesuatu hubungan dengan “Yang Lain” yang transenden, walaupun Yang Lain itu hanya dibayangkan atau realitasnya sungguh disangsikan. Spiritualitas merangkum apa yang terdapat dalam budi manusia, bagaimana itu dipikirkan dan bentuk pengungkapannya dalam hidup sehari-hari seseorang. Semua itu dilandasi dan berorientasi kepada Yang Transenden, yang oleh manusia disadari memanggilnya secaara total dan tanpa syarat.

Jordan Auman, mendefinisikan spiritualitas menunjuk kepada setiap nilai religius atau etis yang dikonkritkan sebagai suatu sikap atau semangat yang nampak dalam tindakan sesorang.

SPIRITUALITAS PEMBINA

Nilai Pelayanan Pembina Kaum Muda

Di atas sudah dikatakan bahwa aspek hakiki yang paling utama Spiritualitas ialah realitas nilai, religius atau etis (yang mampu membentuk suatu sikap hidup yang mengarahkan dan menentukan tindakan-tindakan seseorang dalam hidupnya). Apabila kita berbicara Spritualitas kaum Muda tidak lepas dari tujuan pembinaan atau pendidikan. Biasanya dirumuskan: membentuk manusia dewasa, yang mampu berdiri sendiri dan bertanggungjawab serta berguna bagi sesama dan masyarakat. Pertanyaannya adalah Dimanakah tempat atau peran kaum muda katolik dalam proses tujuan ini? Untuk menjawab ini kembali ke Dokumen Konsili Vatikan II.

Dalam Deklarasi tentang pendidikan Kristen Gravissimum Educationis, (GE) ada tiga lembaga disebut sebagai pengemban tugas pendidikan: para orang tua, negara dan Gereja. Para orang tua disebut sebagai pendidik pertama dan utama. Tugas mendidik utama adalah wewenang keluarga dan membutuhkan bantuan masyarakat. Selain orang tua dan masyarakat Negara pun berperan dalam membina kaum muda. Akhirnya gereja disebut sebagai pembina karena ia dapat dianggap masyarakat manusia yang mampu mendidik dan terutama “gereja wajib mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang dan menyalurkan hidup Kristus kepada orang-orang beriman, serta membantu mereka dengan keprihatinan yang terus-menerus agar mereka dapat mencapai kepenuhan hidup ini” (GE a.3).

Dalam Kitab Suci merumuskan : Dan Ialah ( Kristus Tuhan) yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi, baik pemberita-pemberita Injil gembala-gembala, dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesasatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah Kepala. Daripada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayan semua baginya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih (Ef. 4:11-16).

Kutipan di atas memberikan dasar teologis dan Kristologis bagi nilai pelayanan pembinaan kaum muda. Tugas pembinaan adalah suatu karunia dari Kristus yang bangkit. Bahkan realita pertumbuhan sendiri bersumberkan kepada-Nya. Pelbagai ungkapan dan gambaran mengenai tujuan pelayanan pembinaan dalam Gereja menunjuk kepada kehidupan komunitas kristen, dan bukan hanya kepada orang-orang kristen secara individual. Ditegaskan antara lain bahwa tujuan pembangunan atau pembinaan ialah “kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”.

Menurut Joseph A. Grasi, ungkapan “pengetahuan akan Anak Allah” berarti memperoleh gambaran manusia sempurna, yang mempunyai kedewasaan dalam Kristus dengan menghayati corak kehidupan manusiawi yang merupakan ciri kehidupan Yesus sebagai Putra Allah. Ini mewujudkan suatu relasi baru seseorang dengan Allah sebagai Bapa dan suatu hubungan baru persaudaraan dan cinta kasih dengan sesamanya. Dengan demikian ungkapan “Kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” merupakan penegasan keterangan “Kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tenatang Anak Allah”.

Dengan demikian kita dapat merumuskan tujuan pelayanan pembinaan Kaum Muda dalam Gereja dengan dua kata: Kedewasaan iman. Kristus merupakan sumber dan tujuan serta ukuran dari kedewasaan tersebut. Tubuh Kristus dibangun, dan para anggotanya memperoleh kesatuan dalam Krisrus, suatu kesatuan yang berlandaskan pada iman yang sama akan Dia. Jadi Gereja merupakan sebagai suatu keseluruhan-kita semua-yang mencari kedewasaan penuh pada tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk. Ef. 1:22-23; 2:15). Kedewasaan iman menyangkut dua dimensi fundamental, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi vertikal berkaitan dengan relasi dengan Allah selaku Bapa, dimenis horisontal berkaitan dengan relasi sesama..

Dengan demikian menjadi jelas bahwa iman itu tidak hanya menyangkut hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan dan terbatas pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan ibadat dan tugas moral. Iman menyangkut semua segi kehidupan manusia, tidak terkecuali aspek duniawi. Konsili Vatikan II dalam GS artikel 43 ditegaskan bahwa; kelirulah mereka yang beranggapan seolah-olah urusan duniawi itu asing bagi kehidupan agama, karena mereka mengira bahwa kehidupan beragama terdiri hanya atas pelaksanaan kegiatan-kegiatan agama dan beberapa tugas moral. Orang Kristen yang mengabaikan tugas-tugas duniawi, mengabaikan tugasnya terhadap sesama, malah terhadap Allah sendiri dan membahayakan keselamatan abadinya.

P. Kasmir MSF

Sumber : http://msfmusafir.wordpress.com/2007/04/10/spiritualitas-pembina-kaum-muda-katolik/

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP