Sabtu, 12 November 2011

Ritual Tujuh Bulanan Adat Jawa

Tatacara upacara Mitoni atau ritual tujuh bulanan yang lengkap yang biasanya masih dilakukan di kraton-kraton dan masyarakat Jawa yang masih kuat memegang tradisi.

Rangkaian acara untuk upacara mitoni secara lengkap urut-urutannya yaitu;
1. Siraman (pemandian calon ibu)
2. Pendandanan calon ibu
3. Angreman

Tempat, berbagai barang/ubarampe termasuk sesaji, hendaknya sudah tersedia lengkap.

1. Upacara Siraman
Biasanya pelaksanaan siraman diadakan di kamar mandi atau ditempat khusus yang dibuat untuk siraman, di halaman belakang atau samping rumah. Siraman berasal dari kata siram artinya mandi. Pada saat mitoni adalah pemandian untuk sesuci lahir batin bagi calon ibu / orang tua beserta bayi dalam kandungan. Yang baku, di tempat siraman ada bak atau tempat air yang telah diisi air yang berasal dari tujuh sumber air yang dicampur dengan bunga sritaman, yang terdiri dari mawar, melati, kenanga, dan kantil. Di pagi hari atau sore hari yang cerah, ada terdengar alunan suara gamelan yang semarak, mengiringi pelaksanaan siraman.

Di depan tempat siraman yang disusun apik, duduk calon kakek, calon nenek dan ibu-ibu yang akan ikut memandikan. Mereka semua berpakaian tradisional Jawa, bagus, dan rapi. Tentu saja sisaksikan oleh para undangan yang hadir untuk menyaksikan dan memberi restu kepada calon ibu. Calon ibu dengan berpakaian kain putih yang praktis tanpa mengenakan aksesoris seperti gelang, kalung, subang dsb, datang ketempat siraman dengan diiringi oleh beberapa ibu. Dia langsung didudukkan di atas sebuah kursi yang dialasi dan dihiasi dengan sebuah tikar tua, maksudnya orang wajib bekerja sesuai kemampuannya dan dedaunan seperti : opok-opok, alang-alang, oro-oro, dadap serep, awar-awar yang melambangkan keselamatan dan daun kluwih sebagai perlambang kehidupan yang makmur.

Orang pertama yang mendapat kehormatan untuk memandikan adalah calon kakek, kemudian calon nenek dan disusul oleh beberapa ibu yang sudah punya cucu. Sesuai kebiasaan, jumlah yang memandikan adalah tujuh orang. Diambil perlambang positifnya, yaitu tujuh, bahasa Jawanya pitu, supaya memberi pitulungan, pertolongan.

Sesudah selesai dimandikan dengan diguyur air suci, terakhir dikucuri air suci dari sebuah kendi sampai airnya habis. Kendi yang kosong dibanting ketanah. Dilihat bagaimana pecahnya. Kalau paruh atau corot kendi tidak pecah, hadirin ramai-ramai berteriak: Lanang! Artinya bayi yang akan lahir laki-laki. Apabila pecah, yang akan lahir wadon, perempuan.

Perlu diketahui bahwa suasana selama pelaksanaan siraman adalah sakral tetapi riang. Pada masa kini, upacara siraman dipandu oleh seorang ibu yang profesional dalam bidangnya, disertai seorang M.C. sehingga upacara berjalan runut, lancar dan bagus.

Peluncuran tropong
Ada kalanya, sesudah selesai pecah kendi, sebuah tropong, alat tenun dari kayu diluncurkan ke dalam kain tekstil yang mempunyai tujuh warna. Ini perlambang kelahiran bayi dengan lancar dan selamat. Peluncuran tropong, pada masa kini jarang sekali dilakukan.

Siraman gaya Mataraman
Siraman gaya Mataraman atau Yogyakarta kuno, sekarang boleh dibilang tidak dilakukan lagi. Pada siraman tersebut yang dimandikan tidak hanya calon ibu, tetapi jugas calon ayah, secara berbarengan.

2. Pendandanan Calon Ibu
Di sebuah ruangan yang telah disiapkan untuk upacara pendandanan, beberapa ibu dengan disaksikan hadirin, mendandani calon ibu dengan beberapa motif kain batik dan lurik. Ada 6 (enam) motif kain batik, antara lain motif kesatrian, melambangkan sikap satria; wahyu tumurun, yaitu wahyu yang menurunkan kehidupan mulia, sidomukti, maksudnya hidup makmur, sidoluhur-berbudi luhur dsb.

Satu per satu kain batik itu dikenakan, tetapi tidak ada yang sreg atau sesuai. Lalu yang ketujuh dikenakan kain lurik bermotif lasem, dengan semangat para hadirin berseru: Ya, ini cocok! Lurik adalah bahan yang sederhana tetapi kuat, motif lasem mewujudkan perajutan kasih yang bahagia, tahan lama. Begitulah perlambang positif dari upacara pendandanan.

Lurik yang dikenakan calon ibu tersebut diikat dengan tali yang terdiri dari benang dan anyaman daun kelapa. Tali itu dipotong oleh calon ayah dengan menggunakan sebilah keris yang ujungnya ditutup kunyit. Ini perlambang bahwa semua kesulitan yang dihadapi keluarga, akan diatasi oleh sang ayah. Sesudah memotong tali, sang ayah mengambil tiga langkah ke belakang, membalikkan badan dan lari keluar. Ini melambangkan kelahiran yang lancar dan selamat, bagi bayi dan ibu.

Brojolan
Dua buah kelapa gading diluncurkan ke dalam kain lurik yang dipakai calon ibu. Kedua kelapa tersebut jatuh di atas tumpukan kain batik. Ini juga menggambarkan kelahiran yang lancar dan selamat. Kedua buah kelapa gading itu diukir dengan gambar Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya, sepasang dewa dewi yang cantik, bagus rupanya dan baik hatinya. Artinya tokoh, figur yang ayu, baik, luar dalam, lahir batin. Ini tentu dalam menjalani kehidupan kedua orang tua juga bersikap demikian, demikian pula anak yang dilahirkan, menjalani kehidupan yang baik, berbudi pekerti luhur dan mapan lahir batin.

Calon ayah mengambil salah satu kelapa tersebut dan memecahnya dengan menggunakan golok. Kalau kelapa itu pecah jadi dua, hadirin berseru: Wadon, perempuan. Kalau kelapa itu airnya menyembur keluar, hadirin berteriak riang: Lanang, lelaki. Anak yang dilahirkan putra atau putri, sama saja, tetap akan diasuh, dibesarkan oleh orang tuanya dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Kelapa yang satunya, yang masih utuh, diambil, lalu dengan diemban oleh calon nenek, ditaruh ditempat tidur calon orang tua.

3. Angreman
Angreman dari kata angrem artinya mengerami telur. Calon orang tua duduk diatas tumpukan kain yang tadi dipakai, seolah mengerami telur, menunggu waktu sampai bayinya lahir dengan sehat selamat. Mereka mengambil beberapa macam makanan dari sesaji dan ditaruh di sebuah cobek. Mereka makan bersama sampai habis. Cobek itu menggambarkan ari-ari bayi.

Perlu diperhatikan bahwa untuk ritual angreman gaya Yogyakarta, sesajinya tidak ada yang berupa daging binatang yang dipotong. Ini memperkuat doa kedua calon orang tua supaya bayi mereka lahir dengan selamat.

Kelapa dan tumpukan kain-kain itu berada di atas tempat tidur kedua calon orang tua. Ini latihan kesabaran bagi keduanya sewaktu menjaga dan merawat bayi.
Di pagi harinya, calon ayah memecah kelapa tersebut. Ini biasanya yang terjadi. Tetapi kalau di pagi hari ada seorang wanita hamil meminta kelapa tersebut, menurut adat, kelapa itu harus diberikan. Lalu wanita dan suaminya yang akan memecah kelapa itu. Hal ini melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri sendiri, saling menolong dan welas asih, haruslah diutamakan.

Sumber : http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/ritual-tujuh-bulanan-adat-jawa/

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP