Kamis, 28 April 2011

Fasilitator : Ujung Tombaknya Komunitas Basis Gerejani

Oleh: Alfons Liwun

Keadaan masyarakat dulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Begitupun situasi Gereja kita. Setiap zaman bahkan setiap tahun, keprihatinan dan tantangan hidup kita pun terus menerus bergeser. Karena itu, tidak heran jika untuk membangun Gereja kita, tidak mesti sama persis seperti Gereja para rasul, Gereja zaman Fransiskus Xaverius, dan Paulus Tjen Ongie. Namun ada satu hal yang pasti bahwa ekspresi dari semangat sebuah zaman, telah memotivasi umat untuk bangkit dan menata kembali mengembangkan kehidupan Gereja.

Ekspreasi roh zaman yang sama itu pula telah mendorong para peserta Sinode 2000 untuk menemukan “a new way of being church” yaitu Komunitas Basis Gerejani (KBG) menjadi prioritas karya pastoral. Dan bahkan mungkin juga spirit zaman yang sama itu, telah menginspirasi Bapa Uskup dan kemudian inspirasi itu kini menjadi sebuah wacana penegasan untuk kembali menata komunitas-komunitas kecil yang sudah ada. Bahwa komunitas kecil yang selama ini melaksanakan kegiatan devosional ditingkatkan dengan membaca Alkitab, merefleksi, dan sharing bersama hingga pada pelaksanaan aksi konkrit.

Dalam semangat pengembangan KBG misalnya, Paroki St. Maria Pengantara Segala Rahmat Sungailiat dalam pertemuan 25 September 2005, moment evaluasi program tahunan, para pastor, DPP, ketua-ketua kelompok, fasilitator, dan Sekpas telah menemukan tiga butir kebutuhan pokok yang perlu mendapat prioritas dalam pengembangan Gereja Sungailiat tahun 2006. Ketiga acuan pokok itu adalah membangun KBG dalam semangat persaudaraan sejati, menjadikan paroki mandiri dalam hal tenaga dan dana, dan mengembangkan komunikasi dan koordinasi serta tanggungjawab bersama semua anggota (keterlibatan, animasi, pengurus, dan fasilitator).

Hemat saya, jika dalam setiap pemetaan prioritas kebutuhan untuk pengembangan Gereja yang nota bene-nya bermuara pada KBG; walaupun dimana KBG kita sekarang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dengan jamak rupa yang berbeda, namun semuanya itu, bila tersimpul maka kita menemukan dalam empat kekhasan pokok yaitu KBG sebagai basis Gereja setempat, KBG sebagai basis masyarakat setempat, KBG sebagai basis kerasulan, dan KBG sebagai basis pemberdayaan umat awam, dengan meneliti KBG yang demikian maka alternatif yang ditonjolkan adalah bagaimana pemfokusan kita pada pembinaan atau pelatihan bagi para fasilitator dan pengkaderan fasilitator itu sendiri, sehingga selain fasilitator memiliki hidup rohani yang mendalam, ketrampilan, pengetahuan, dan kepribadian yang kuat, juga agar fasilitator mampu membaca “tanda-tanda zaman” yang sedang terjadi dalam kelompok, stasi, paroki, dan bahkan sebuah keuskupan. Karena bagaimanapun juga, fasilitator adalah ujung tombaknya KBG yang menjadi pelancar dan sekaligus lebih luas bersama anggota-anggota kelompoknya dan agen pastoral yang lain berusaha untuk mengembangkan dunia dan menyempurnakan kemanusiaan. Untuk itu, fasilitator perlu dibina dan dididik terlebih dahulu dan setelah itu ia melanjutkan atau menularkan pembinaan itu kepada anggota-anggota kelompok yang dibinanya.Tanpa pembinaan yang terus menerus untuk fasilitator, kelompok yang dibinanya pun tetap “suam-suam kuku”-bahkan bosan dan sirna ditelan angan-angan.

Pola Pembinaan “Ruang Atas”: Pola Pembinaan Fasilitator

Salah satu fragmen hidup Yesus yang cukup menarik adalah bahwa Ia “tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri” (Yoh.5:19.30), namun menerima segala sesuatu dari Bapa yang telah mengutus-Nya. Kesadaran-Nya yang mendalam ini membawa Yesus untuk memanggil dan memilih para murid-Nya menjadi rasul. Para rasul yang diutus-Nya pun tidak dapat berbuat apa-apa jika tanpa Yesus (Yoh.13:20;17:18). Itu berarti Yesus Kristus yang adalah Bapa dan Roh Kudus menjadi “tenaga” bagi para rasul dalam melaksanakan misi perutusan bagi dunia. Tidak heran jika suasana sengsara dan wafat Yesus, mengubah suasana para rasul menjadi suasana krisis, putus asa, dan tidak memiliki arah hidup lagi. Mereka tercerai berai. Mereka kembali kepada habitatnya sebagai nelayan, petani, pengembala, pemungut cukai, dan sebagainya. Suasana yang kacau balau yang dialami para rasul kemudian hari disatukan kembali oleh kehadiran Yesus-dalam kebangkitan-Nya. Mereka kembali melerai benang kusut perjalanan hidup dan memurnikan motivasi panggilan hidup mereka sebagai seorang utusan.

Penginjil Lukas, dalam Kisah Para Rasul 1:13, menunjukan “ruang atas” (snakel) menjadi tempat tinggal mereka. Bukan hanya itu saja, bahkan dalam Injil, ternyata ruang atas diceriterakan sebagai tempat perjamuan perpisahan (Mrk.14:14), menjadi tempat pemilihan rasul pengganti Yudas Iskariot, tempat para rasul menanti-nanti kedatangan Roh Kudus dan pencurahan Roh Kudus untuk berkatekese tentang Yesus dan ajaran-Nya kepada semua bangsa, yang bermula dari Yerusalem. Dalam terang pembelajaran para rasul di ruang atas ini, fasilitator sungguh-sungguh mau dibina agar mereka mampu memfasilitasi dirinya dan kelompok yang dibinanya. “Suasana ruang atas” yang dialami fasilitator betul-betul akan dialami oleh komunitas-komunitas kecil. Dan bisa saja, Roh “ruang atas” menjadi sebuah alternatif spirit bagi pembekalan fasilitator.

Fasilitator: Ujung Tombak KBG

Fasilitator atau sering disebut sebagai pelancar adalah seseorang yang bertugas untuk mempermudah proses dialog antar para peserta. Itu berarti peranannya sebagai pemudah dan pelancar proses dialog antar peserta pertemuan untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan yang baik, pelancar hanya sebagai pengarah, tidak menguasai pembicaraan, bukan pengkhotbah dan ahli segala ilmu tetapi harus memberikan waktu yang cukup kepada peserta untuk berdialog, mendorong peserta untuk berani berbicara, mengendalikan peserta berpengalaman yang rajin berbicara, dan menyiapkan dan mengajukan pertanyaan yang baik demi menolong peserta untuk memahami materi, dan mampu merangkum input-input yang telah disumbangkan oleh peserta.

Untuk membantu fasilitator supaya berhasil dalam tugas dan perannya, saya sependapat dengan Lobinger Fritz, dalam tulisannya Towards Non-Dominating Leadership, Aims and Methods of the Lumko Series, bahwa fasilitator amat perlu sekali disiapkan dalam pelbagai pembinaan rutin dengan beberapa bidang binaan utama. Pertama, spiritualitas atau kehidupan rohani, yang mencakupi bagaimana orang-orang kristen yang beriman dan memiliki komitmen, bagaimana fasilitator mengembangkan doa pribadi, bagaimana fasilitator memurnikan motivasi untuk melayani dan memimpin, bagaimana fasilitator mendewasakan iman dan mampu beralih dari religiusitas alami kepada Kristus, serta bagaimana memadukan kebudayaan dan iman kristiani. Kedua, psikologis atau perilaku, nilai dan kesadaran, yang terdiri dari pembinaan berupa kesadaran akan tanggungjawab sosial, relasi dalam persekutuan, kerja tim, kemitraan dengan pemimpin yang lain dengan umat, dan sikap pelayanan bukan unjuk kekuatan. Ketiga, Ketrampilan. Fasilitator dibina untuk bagaimana mempermudah proses dialog antar sebuah kelompok dan persekutuan yang lebih besar, bagaimana mengajak dan mempengaruhi orang lain, bagaimana memimpin perayaan-perayaan ritual, bagaimana menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, bagaimana mengatasi konflik, dan bagaimana berkomunikasi dengan anggota-anggota kelompok. Keempat, scientific atau pengetahuan, informasi, dan wawasan. Fasilitator juga perlu dibina tentang berbagai ilmu teologis, dan pengetahuan umum seperti sosial, ekonomi, budaya, informatika, dan ilmu-ilmu lainnya. Keempat bidang primer ini jika dikemas secara baik dengan modul-modul yang memadai dan dijalankan secara periodik, lambat laun fasilitator memiliki pertumbuhan hidup rohani, wawasan yang cukup, ketrampilan yang mampu menjadi penggerak yang handal, dan sekaligus sebagai pribadi yang sanggup membaca dan menganalisa “tanda-tanda zaman” yang sedang bergejolak. Jelas disini bahwa fasilitator sungguh-sungguh menjadi ujung tombaknya KBG.

Seorang umat yang telah bersedia menjadi fasilitator, diusahakan supaya dibangun suatu relasi yang mantap, seperti “peristiwa ruang atas” yang dialami para rasul Kristus. Fasilitator atau sering disebut sebagai pelancar adalah seseorang yang bertugas untuk mempermudah proses dialog antar para peserta. Dan jika seorang pelancar menyadari akan peran dan fungsinya dalam pertemuan kelompok, ia akan mengetahui sejauhmana dirinya sebagai seorang yang sedang “diutus” bagaikan seorang rasul yang telah mengalami kebersamaan ruang atas.

Fasilitator akan berusaha membangun kelompok binaannnya, sesuai dengan pola pembinaan yang telah diperolehnya. Pengetahuan yang ia peroleh dalam pembinaan akan menjadi dasar baginya untuk meretas wawasan dan informasi bagi anggota-anggota kelompok. Teknik bagaimana berkomunikasi yang baik dalam pembinaannya akan dipakainya untuk membangun sebuah jaringan kemitraan dan dialog antar sesama anggota kelompok. Semangat spiritualitas ruang atas yang dialami bersama fasilitator lain hemat saya akan ia gali untuk menemukan spiritualitas kelompoknya. Kemantapan psikis yang bersifat kolegial-partisipatif akan menembus kebersamaan dalam memecahkan problematika kehidupan berjemaat dalam kelompok. Dengan demikian segala bentuk pembinaan yang diterimanya membuatnya menjadi ujung tombak dalam memfasilitasi segala pertemuan kelompok. ***

Sumber : http://alfonsliwun.blogspot.com/

baca selanjutnya...

Rabu, 27 April 2011

Bandung tingkatkan peran Komunitas Basis

Dalam Rapat Kerja keuskupan Bandung belum lama ini, tim pastoral sepakat dan berkomitmen untuk memberdayakan Komunitas Basis Gerejani (KBG) dan menjadikan tahun 2011 sebagai Tahun Komunitas Basis Gerejani.

Dalam rangka membangun pelayanan yang lebih terarah dan terencana, tim pastoral bertekad memberdayakan komunitas basis, dan menekannya dalam rencana kerja masing-masing paroki, komunitas, lembaga, atau yayasan sehingga menjadi kesatuan yang utuh.

Pada akhir raker dengan tema, “Memberdayakan Komunitas Basis,” yang diadakan pada 12-14 November 2010, di Lembang, Jawa Barat, perserta yang berjumlah 158 orang mengeluarkan penyataan bersama.

Pernyataan itu antara lain menegaskan “terdorong oleh kesadaran bahwa komunitas basis adalah cara menggereja, bukan teori tetapi pengalaman, maka upaya pemberdayaan komunitas basis akan dimulai juga dengan mewujudkannya dalam komunitas-komunitas para pelayan pastoral seperti komunitas DKP, komunitas DPP, komunitas dewan pimpinan kelompok kategorial, organisasi, yayasan dan lembaga pelayanan.”

Dengan keyakinan bahwa gerak pembangunan Gereja adalah karya Roh, maka “kita sepakat akan mempersiapkan penggerak-penggerak komunitas yang mampu menjadi penggerak dan pendamping proses pemberdayaan komunitas,” lanjut mereka.

Mengingat begitu banyaknya komunitas yang akan digerakkan dan membutuhkan banyak penggerak, tanpa menutup kemungkinan untuk mengadakan di masing–masing paroki, DKP akan membentuk tim penggerak yang diharapkan menjadi para pelatih penggerak komunitas.

Sejalan dengan kesepakatan Gereja Katolik Indonesia [SAGKI] dan Sidang KWI tahun 2010, kita akan menaruh perhatian akan perlunya pendekatan dialog dengan budaya setempat, dengan agama dan keyakinan lain serta dengan orang “miskin”.

Sehingga pada akhir tahun 2011 kita bisa melihat adanya komunitas-komunitas sebagai gereja kecil yang mengakar dalam budaya setempat, yang bersaudara dengan semua orang dan mampu menampakkan wajah Kristus kepada mereka yang “miskin”. Komunitas diharapkan menjadi komunitas yang misioner, yang kerkisah tentang pengalaman hidupnya dengan Kristus.

“Kita menyadari bahwa komunitas yang partisipatif akan terkondisikan jika didukung oleh kepemimpinan yang partisipatif. Untuk memenuhi kebutuhan itu kita akan bersama-sama memahami, melatih dan menerapkan konsep kepemimpinan yang partisipatif dalam kepemimpinan para pelayan pastoral,” tambah mereka.

Sumber : http://www.cathnewsindonesia.com/

baca selanjutnya...

Minggu, 24 April 2011

Komunitas Basis dan Credit Union

Pengantar
Ada yg mengatakan: Jika engkau melihat seorang budak tertidur, jangan bangunkan dia. Mungkin dia sedang bermimpi tentang kebebasan. Tetapi aku berkata lain: Jika engkau melihatnya tertidur, bangunkan dia dan ajaklah dia berbicara tentang kebebasan".

Evangelisasi baru dalam kehidupan meng-Gereja pada zaman ini tidak lagi mefokuskan diri pada bentuk pelayanan Gereja Borjuis atau Gereja pemelihara umat dengan misi Sosial Karitatif melainkan Gereja sebagai Communio umat beriman. Paham Gereja sebagai Communio dalam perjalanan refleksi teologis dan eklesiologis melahirkan sebuah pemahaman baru atas inti iman akan Yesus yang dikonkretkan dengan situasi hidup nyata manusia (Fides historica).

Komunitas Basis Gerejani (KBG) adalah paham baru mengenai bagaimana cara hidup mengereja dalam dunia modern ini. KBG menempatkan Kristus sebagai pusat hidup orang beriman yang dibangun melalui pelbagai olah kesalehan (sakramen dan sakramentalia) dan buah-buah dari kesalehan itu diharapkan dapat menjadi garam dan terang dunia. Terisitmewa nilai-nilai eskatologis yaitu janji pengharapan dan solidaritas sudah dihayati dalam ruang dan waktu menuju pada sebuah kepenuhan.

Namun sering terjadi bahwa cara penghayatan iman zaman ini belum mengarami dunia. Terjadi dualisme hidup antara yang sakral dan profan, saleh dan berdosa, iman dan dunia, dan sebagainya terpisah satu sama lain. Karena itu Credit Union dapat menjadi suplemen dalam membangun KBG sebagaimana cara hidup yang dihayati oleh komunitas umat perdana.

A. Pengertian Beriman

Beriman secara kristiani adalah anamnesis/mengenangkan perkataan dan perbuatan Yesus dalam sejarah melalui pewartaan, penderitaan, wafat dan kebangkitaNya. Jelas bahwa iman bukanlah masalah metafisika melainkan historis (fides historica), karena pengalaman akan Allahmemuncak pada fakta peristiwa Yesus yang menyejarah. Dengan demikian iman akan Yesus lahir dalam ruang dan waktu. “Iman Kristen merupakan suatu praksis dalam sejarah dan masyarakat yang harus dilihat sebagai pengharapan dalam kesetiakawanan/solidaritas dalam pribadi Yesus, sebagai Allah dari orang hidup dan mati, yang memanggil semua orang untuk menjadi subjek dihadapanNya”.

Pengharapan akan solidaritas Allah tidak dapat kita pahami, jika terpisah dari keterlibatan Yesus dalam sejarah dan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud adalah pengharapan dalam solidaritas. Dan solidaritas Allah ini tidak hanya dialamatkankepada pihak yang menang dan hidup tetapi bagi mereka yang kalah, gagal, berdosa dan mati. Inilah universalitas dan keadilan Allah.

Dasar pengharapan kekristenan adalah peristiwakebangkitan Kristus. Kebangkitan adalah sebuah pembaharuan, bahkan revolusi bagi semua orang yang kalah dan menderita. Mereka yang kalah dan menderita adalah subjek yang tidak memiliki akses hidup yang lebih manusiawi; dalam hal kesejahteraan ekonomi, pendidikan, kesehatan bahkan kesempatan dan peluang. Mereka yang tergolong kalah dan menderita adalah pribadi-pribadi secitra dengan Allah sendiri dimana hidup manusiwai mereka di pertaruhkan dengan kematian. Karena itu, iman kekristenan harus diartikulasikan dengan memoria Christi kenangan akan Kristus. Dengan istilah memoria Christi mau mengungkapkan bahwa orang yang beriman kristiani percaya akan corak historis yang terdapat misteri Kristus sebagai pembebas. Dengan demikian menjadi jelas bahwa iman kristen bukanlah pertama-tama menyangkut sistem moral atau etika melainkan pengharapan, janji akan pembebasan menyeluruh di masa depan. Karena itu, orang kristen tidak bisa mengelakkan tanggung jawabnya di dunia termasuk mengentaskan kemiskinan dan penderitaan serta mengangkat mereka sebagai subjek secitra dengan Allah sendiri. Pengharapan dalam solidaritas adalah kesetiakawanan bagi mereka yang menderita, dilupakan dan mati.

B. Halangan Beriman dalam Zaman ini

Kita saat ini hidup dalam periode sejarah yang baru, dengan segala perubahan-perubaha nyang tersebar luas di seluruh dunia. Perubahan tatanan dunia ini karena kepandaian dan kreativitas manusia dalam mengembangkan ide-idenya untuk memperbaharui dunia. Perubahan disatu sisi mendekatkan manusia secara universal dengan segala kemudahan, tetapi disisi yang lain manusia juga merasa bersalah dan tidak berdaya menyaksikan arus perubahan itu sendiri. Manusia diobang-ambingkan oleh pelbagai pilihan dan trend hidup yang mengarah pada keberhasilan lahiriah dan mengutamakan rasionalitas yang cenderung sekular, otonom dan pragmatis.

1. Manusia Sekular

Manusia modern membangun hidupnya lebih sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi, dengan struktur-sturktur dunia sesuai dengan perkembangan masyarakat daripada tuntutan-tuntutan agama. Dalam Novel The Man Without Qualities yang dikutip oleh J.B. Metz manusia sekular terbagi dalam beberapa kategori: profesi, suku bangsa, negara, kelas, letak geografis, jenis kelamin, kesadaran, ketidaksadaran,dan privatisasi. Pluralisme demikian begitu menyatu dalam hidup manusia sehingga iman bahkan bergama di pandang sebagai salah satu bidang hidup yang terpisah dari ketegori-kategori tersebut. Iman seakan-akan tidak dapat diintegrasikan dalam pluralisme hidup manusia. Keterlibatan manusia dalam dunia, melalui profesi maupun relasi personal dengan orang lain tidak dilihat sebagai panggilan hidup yang dilandasi oleh iman, tetapi semata-mata pilihan pribadi manusia.

2. Manusia Otonom

Gerakan yang mengusung kebebasan dan otonomi manusia dalam pelbagai aspek kehidupan menjadi salah satu penghalang dalam penghayatan iman. Manusia zaman ini ingin menjadi tuan atas dirinya sendiri, terputus dari segala ikatan spiritual yang metafisik, tradisional dan usang. Segala tatanan nilai yang ada dalam masyarakat termasuk nilai spiritual itu sendiri dilihat sebagai penghalang bagi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Nietzsche mengkumandangkan lonceng kematian Allah. Kedudukan Allah telah diganti oleh kaum humanis dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Manusia sendiri mengambil alih peranan dari yang sakral untuk menaklukan yang chaos, dengan demikian manusia mengatur dunia menjadi tempat kediaman yang aman. Inilah sikap otonom mutlak yang diperjuangan manusia modern dari semua nilai-nilai transenden, termasuk Gereja dengan segala ajarannya dilihat sebagai penghalang bagi otonomi manusia.

3. Manusia Pragmatis

Manusia prgamatis memandang segala sesuatu berdasarkan fungsi atau kegunaan. Maka segala hal yang sifatnya abstrak dan konseptual teoritis tidak berarti karena tidak mendatangkan manfaat bagi manusia. Demikian juga dengan kebenaran ilmu pengetahuan bukan ada dalam dirinya sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kehidupan konkret. Ilmu pengetahuan hanya berguna sejauh memberikan manfaat konkret dan praktis atas hidup manusia. Demikian juga dengan pemahaman tentang iman kristen. Bahwa kebenaran akan iman kristen sejuah mendatangkan keuntungan riil bagi hidup manusia. Diluar asas manfaat atau pragtis akan ditolak. Dengan demikian manusia sendiri telah memanipulasi sesamanya melalui sistem-sistem konsumen dan pendidikan politik di bawah suatu kuasa otoritas. Manusia menjadi homo manipulator. Ia mamanipulasi alam, dirinya sendiri bahkan Allah ke dalam bingkai praktis.

C. Gereja dan Dunia Mencari Jalan Masing-Masing

Krisis agama Kristen dalam zaman modern ini adalah krisis identitas. Krisis ini lahir dari pandangan Gereja sendiri yang menekankan dimensi iman yang sering bersifat teoritis, sakral, transeden dan personal; spiritual pribadi, paham tentang dosa secara pribadi, bahkan keselamatan eskatologis juga bersifat pribadi atau privat. Dengan demikian maka konsekuensinya segala realitas dunia dengan sejarahnya dinilai sebagai medan dosa dan sedapat mungkin dijauhkah. Atau paham misi dengan sosial karitatif hanya demi penambahan anggota dan eksklusif dalam komunitas gereja itu sendiri.

Pandangan dengan pola misi karitatif menempatkan Tuhan begitu jauh dari kenyataan hidup manusia. Bahkan gereja dengan segala bentuk hidup berusaha mengisolir diri di tempat-tempat terpencil dengan anggapan bahwa Tuhan hanya bisa dijumpai dalam komunitas yang terpisah jauh dari kenyataan hidup konkret. Dunia dinilai sebagai medan penuh godaan dan dosa maka sejauh dapat dihindarkan. Yesus yang semula dikenal sebagai Rabbi Yahudi yang berdarah daging makin lama makin dilukiskan sebagai Makhluk Surgawi yang dapat dijumpai bukan di tengah dunia yang berdarah daging melainkan hanya dalam alam surgawi. Dan sampai saat ini masih banyak sebahagian orang Katolik beranggapan bahwa Gereja termasuk para pemimpinnya membatasi diri pada hal-hal yang sifatnya rohani saja dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari hal-hal duniawi. Tugas Gereja adalah membantu manusia masuk dalam Kerajaan Spiritual, di mana manusia dapat menemukan keselamatan. Ini berarti masalah sosial, politik dan ekonomi bukan tugas Gereja, termasuk berhadapan dengan kemiskinan, kekerasan, kegagalan dan ketertindasan. Jika paham ini masih menjadi alasan pembenaran maka peristiwa inkarnasi Allah menjadi manusia pun ditolak. Bahkan paham iman sebagai historica Chirsti pun ditolak dan diganti dengan sebuah janji maya yang menghibur.

Refleksi iman kristen saat ini tidak bisa dipisahkan dari dunia karena dunia sebagai locus inkarnasi. Gereja tidak bisa mengutuk segala perkembangan dunia sebagai penentang keselamatan melainkan Gereja sendiri harus merumuskan kembali konsep keselamatan berhadapan dengan perubahan zaman. Karena jalinan dan interaksi Gereja dan dunia/masyarakat saling mempengaruhi. Maka Metz menawarkan agar dimensi iman yang bersifat pribadi harus diganti dengan pengertian iman kristen sebagai a throughly social human being. Dalam surat 1 Petrus 3:15 menandaskan bahwa orang kristen maupun Gereja secara institusi di dunia harus bertanggungjawab untuk meyakinkan dunia dan masyarakat akan nilai-nilai eskatologis yang telah diwariskan Kristus kepada Gereja. Gereja harus terus-menerus membangun dialog dengan dunia, karena Gereja akan kehilangan identitasnya jika menghindar dari kenyataan dunia. Dalam hubungan interaksi tersebut Gereja harus tampil sebagai lembaga yang profetis kritis sehingga tidak tenggelam dalam dinamika masyarakat dan dunia.

D. Komunitas Basis Gerejani

Keterlibatan Gereja dalam dunia dan masyarakat hanya bisa dibangun apabila Gereja sendiri tidak lagi manampilkan cirinya sebagai lembaga borjuis dan karitatif atau lembaga pemelihara umat dengan target banyak anggota melainkan Gereja basis yang membangun solidaritas dan pengharapan secara bersama-sama. Gereja Basis yang di munculkan Metz dalam teologi politknya sebagai perwujudan model Gereja yang efektif yang melahirkan sebuah kesadaran baru dalam komunitas akan situasi hidup yang dihadapi. Mungkin corak hidup Jemaat Perdana dalam Kisah Rasul menjadi model spirit komunitas.

Gereja basis ini dalam perkembangan di sebut dengan istilah Komunitas Basis Gerejani (KBG), atau Gereja akar rumput menjadi sebuah tawaran baru dalam hidup meng-Gereja. Cara baru meng-Gereja (KBG) ini bukan untuk membentuk komunitas eksklusif ditengah keragaman atau pluralisme melainkan bertujuan menjadikan Kristus sebagai pusat hidup orang beriman dan membawa pesan Yesus ke tengaah dunia. Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam ber-KBG hidup umat beriman digerakkan oleh Roh Allah sendiri.

Komunitas Basis Gereja tidak lagi dipahami sebagai model lembaga Borjuis melainkan kumpulan orang-orang yang percaya akan Kristus mengadakan penegasan-penagasan. Atau dengan kata lain, dalam KBG terjadi refleksi iman bersama kemudian iman tersebut mengerakkan orang untuk bertindak/beraksi dan kembali mengadakan sharing/berefleksi lagi. Dalam karakteristik membangun KBG unsur-unsur yang harus menjadi central point adalah.

E. Credit Union

Banyak orang menilai bahwa dalam Credit Union/Koperasi uang menjadi yang terpenting. Pada hal lahirnya Credit Union sebenarnya berangkat dari sebuah keprihatinan kolektif atas situasi hidupnya yang mengekang dan memperbudak. Dari kesadaran tersebut, terjadi kesepakatan-kesepakatan tentang moral dan etika dalam hidup bersama. Apa yang penting dalam hidup manusia yang seharusnya diperjuangkan agar hidup lebih manusiawi.

Gerakan Credit Union menitiberatkan dan memprioritaskan manusia sebagai subjek dalam kelompok. Ada tatanan nilai-nilai yang harus menjadi kesadaran bersama, misalnya ketekunan dan kesetiaan pada kerja, tanggung jawab, kepercayaan, kejujuran, solidaritas, keadilan, keterbukaan, demokrasi, dan pendidikan dan pemberdayaan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam Credit Union (CU) uang bukanlah yang akhir melainkan sarana/alat menuju akhir. Sebagaimana dikatakan Raiffesion Money is not an end in itself, but a means to an end: “. . . Sarana untuk memperbaiki kondisi anggota di setiap hal dengan hormat. Target utamanya adalah pengembangan kekuatan moral dan phisik. Ini adalah syarat mutlak dari semua perkembangan.”

Dalam Credit Union dibangun tiga fondasi vital yakni pendidikan, solidaritas dan swadaya. Ketiga fondasi ini sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana lembaga ini membantu orang-orang yang bergabung didalamnya untuk mencapai kesejahteraan hidup secara manusiawi. Kesadaran kolektif akan kebutuhan dan kesejahteraan manusiawi ini menghilangkan pelbagai sekat perbedaan, baik agama, ras, pandangan politik, dan sebagainya. One heart many faces. Satu pengharapan untuk membangun dialog hidup dan terjalin persaudaraan, kekeluargaan dan rasa setiakawan.

Kesetiakawanan dengan semboyan: “.. anda susah saya bantu dan saya susah anda bantu…” menjadi hukum yang mengikat anggota satu sama lain. Individualisme yang diagung-agungkan sangat bertentangan dengan fondasi Credit Union. Maka dalam Credit Union, total life dan dialog hidup antara sesama manusia menjadi kunci dalam membangun persatuan dan kebersamaan.

Raiffesion mengatakan: “Saya tdk dpt menawarkan keajaiban kepada anda dimana akan bisa bebaskan dari kemiskinan tanpa ada usaha dari sisi anda. Tetapi ada satu cara dimana setiap orang dapat mengikutinya, bila semuanya bekerja bersama utk hal umum yang baik, dapat mencapai maksudnya – bebas dari keinginan” bebas dari keinginan.”

Topik kemiskinan saat ini bukan sekedar ranah politik dan sosial melainkan sebuah kenyataan yang kita hadapi bahkan kita alami sendiri setiap hari. Kemiskinan secara ekonomi akan berdampak pada kemiskinan yang lainnya. Atau dengan kata lain, orang miskin mempunyai masalah yang kompleks. Dan usaha untuk membantu memberantas orang miskin secara khusus di Indonesia melaluiAda yg mengatakan: Jika engkau melihat seorang budak tertidur, jangan bangunkan dia. Mungkin dia sedang bermimpi tentang kebebasan. Tetapi aku berkata lain: Jika engkau melihatnya tertidur, bangunkan dia dan ajaklah dia berbicara tentang kebebasan". pelbagai program pemerintah, toh kemiskinan tetap ada. Ada gerakan sosial karitatif bertujuan membantu orang-orang miskin toh tidak bisa menyelesaikan sampai pada akr kemiskinan. Karena itu cara yang ditawarkan Raiffesion melalui Credit Union adalah bahwa “..hanya orang miskin yang dapat membantu orang miskin…” atau hanya orang miskin yang dapat membantu dirinya sendiri.

Kesimpulan

Komunitas Basis Gerejani dan Credit Union sebagai Suplemennya

Ada beberapa karakteristik untuk menilai keberhasilan Komunitas Basis Gereja, antara lain: pertama, komunitas yang mempunyai kesadaran akan hidup totalnya (awareness). Yang termasuk didalamnya adalah harapan, perjuangan, dan impian dari anggota-anggotanya. Melalui KBG dan dengan suplemen Credit Union maka anggota menyadari kekuatan-kekuatan dan situasi-situasi yang membuat anggota tidak bebas dan diperbudak. Kedua, komunitas yang berefleksi dan mengadakan penegasan-penegasan. Meskipun dalam Komunitas Credit Union, tidak mendasarkan dominasi ajaran iman kepercayaan tertentu didalamnya, namun setiap anggota diajak melalui pendidikan dasar CU, merefleksikan sebab-sebab kemiskinan dan bagaimana bisa keluar dari kemiskinan itu sendiri. Kami percaya uang dan investasi tidak mengenal pengkotak-kotakan berdasarkan SARA dan sebagainya. Komunitas Basis dikumpulkan berdasarkan pengalaman iman yang sama, namun di Komunitas Credit Union disatukan oleh pengharapan dan kasih. One Heart Many faces. Para anggota di CU dimotivasi untuk menjadi agen perubahan atas hidup mereka sendiri dan masyarakat pada umumnya. Ketiga, Komunitas yang menyembuhkan dan meperdamaikan. Benar terjadi bahwa sering ada gesekan-gesekan menyangkut mayoritas dan minoritas dalam pluralisme di Indonesia. Ketika berbicara soal dogma iman maka masing-masing akan membenarkan agama masing-masing. Ada image buruk atas kejahatan dengan mengeneralisir agama kepercayaan tertentu, ada kebebasan beragama di daerah-daerah tertentu masih diliputi ketakuatan. Namun dalam komunitas Credit Union, pengharapan dan kasih benar-benar mempersatukan. Dan kami percaya bahwa hanya kerinduan dan harapan manusiawi akan terpenuhnya kesejahteraan hidup yang dapat menyembuhkan dan memperdamaikan. keempat, Komunitas Basis adalah komunitas yang terorganisir. Bahwa dalam Komunitas Basis Gerejani (KBG) seluruh potensi anggota dan karisma masing-masing diberdayagunakan untuk pembangunan dan pengembangan KBG itu sendiri. Sama halnya dengan Credit Union (CU), bahwa segala potensi yang ada pada anggota betul-betul dimanfaatka. Walaupun CU lahir bukan karena keterpaksaan melainkan tumbuh dari kesadaran kolektif namun tetap sebagai sebuah organisasi yang memiliki struktur dan aturan yang mengaturnya. Kelima, KBG terbuka bagi masyarakat luas (open to society) . Bahwa KBG dapat membebaskan sejauh masing-masing anggota memiliki kesadaran akan pengharpan, dapat mengkritisi situasi hidup yang membelenggu sekaligus menawarkan sebuah solusi. Dalam CU, nilai keterbukaan juga menjadi dasar di mana setiap orang dalam jumlah besar dapat bergabung didalamnya. Keterbukaan untuk menerima siapa saja yang ingin bergabung didalamnya dan mau bekerja sama dengan siapa saja. Keenam, Kounitas yang berkaitan dengan hidup seutuhnya (total life). KBG menawarkan bahwa ada aspek pembebasan berupa spiritual, ekonomis, politik, sosial, keluarga dan kultural. Aspek-aspek yang terkandung dalam KBG tersebut menadi nilai-nilai dan fondasi untuk berdiri kokoh kuatnyaCredit Union. Credit Union walaupun menjadi lembaga jasa keuangan tetapi segenap prodak pelayanan tetap mengacu pada semua dimensi hidup manusia. Ketujuh, KBG mendatang pembebasan integreal bagi anggota. Kekuatan-kekuatan yang menghambat kemanusiaan yang utuh dan kekuatan yang merendahkan martabat manusia. KBG menyediakan kesempatan bagi anggota komunitas untuk mencapai taraf kemanusiaan yang lebih penuh. Juga dalam CU, integral liberation, menjadi syarat mutlak yang terkandung dalam visi dan misi serta motto lembaga kami: Sivis pacem para humaniorem Solitudinem. (Jika engkau menghendaki kedamaian (lahir batin) siapkanlah ketentraman yang lebih manusiawi). @@FX.

Sumber : http://cupkasih.wordpress.com

baca selanjutnya...

Jumat, 22 April 2011

Kaum Muda Katolik: Jangan takut berpolitik!

Melihat perilaku para pemimpin dan wakil rakyat yang membuat banyak orang mengelus dada mungkin membuat umat Katolik khususnya kaum mudanya jadi enggan terjun di kancah perpolitikan tanah air. Padahal sebetulnya hal itu tak perlu terjadi. “Kita tak perlu ragu untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak perlu merasa gamang” kata Dr. Cosmas Batubara -yang pernah 10 tahun menjadi anggota DPR dan 15 tahun menjadi menteri selama Masa Orde Baru- dalam acara bincang-bincang tentang Perpolitikan Katolik di Indonesia yang digelar oleh Kerawam di Gereja St Theresia Jakarta, Jumat, 19 Maret 2010 lalu.

Keikutsertaan orang Katolik dalam kancah politik di tanah air bisa dilihat sejak sebelum masa kemerdekaan. Tokoh yang banyak berperan pada masa itu adalah Romo Van Lith yang memberikan dorongan dan dukungan agar kaum muda ikut berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga banyak kaum muda yang terinspirasi. Sebut misalnya, Kasimo; yang terkenal dengan semboyannya: Salus populi suprema lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Kemudian bisa dipelajari pula sikap almarhum Mgr Albertus Soegijapranata SJ, yang selalu menegaskan sikap golongan Katolik dalam keterlibatan di bidang kehidupan politik: In principiis, unitas; in dubiis, libertas; in omnibus, caritas (dalam hal-hal prinsip adalah satu; dalam hal-hal yang masih terbuka, bebas; dalam segala hal, kasih). Ketika itu ada satu motto yang sangat terkenal yaitu 100% Katolik, dan 100% Indonesia. Masih ada pula nama-nama lain seperti almarhum Frans Seda, yang tema perjuangannya adalah kesetiaan kepada tanah air, Pancasila dan Bunda Gereja. Lalu JB Sumarlin, Benny Moerdani, Sudradjat Djiwandono dan kini ada pula nama Mari Elka Pangestu, dll. “Kita ingin orang Katolik bisa lebih ikut berperan dalam pengambilan keputusan bagi kepentingan bangsa dan negara” kata Cosmas.

Untuk itu Cosmas berharap agar generasi muda Katolik terdorong untuk ikut terjun ke bidang politik dengan menjadi birokrat, anggota Polri/TNI, pengusaha, partisan politik, dll dan memberikan kontribusinya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kader politik yang baik, menurut Cosmas, adalah kader yang punya pribadi, berkarakter, sopan dan bukan yang suka menjilat. Mereka selayaknya juga tidak berbicara kasar tetapi menyampaikan pandangannya dengan baik dan tertata. “Omongan boleh sampai tetapi fisik tidak boleh sampai” katanya. Tata cara seperti ini harus sudah dikuasai lebih dulu oleh kader sebelum terjun ke politik. Matang dan terlatih dalam public speaking juga sangat penting sehingga orang dapat mengemukakan pendapat secara jelas dan sistematik, tidak emosional dalam perdebatan dan adu argumentasi dan bisa memimpin.

Sumber : http://www.catholicdailyindonesia.com/

baca selanjutnya...

Senin, 18 April 2011

Spiritualitas Pembina Kaum Muda Katolik

Dewasa ini “spiritualitas” merupakan sebuah istilah yang sangat populer, khususnya di kalangan orang Kristen. Sebagai istilah, Spiritualitas muncul pertama kali di Prancis yang sudah digunakan abad 17 di kalangan lingkungan Katolik. Perkembangan selanjutnya pemakaian istilah Spiritualitas sudah meluas kepada orang kristen lainnya, termasuk orang-orang Protestan Evangelis. Demikianlah dimana-mana orang berbicara dan merasa membutuhkan suatu Spiritualitas. Tokoh-tokoh tertentu teologi Pembebasan mengadakan kritik diri dan mengakui bahwa teologi tersebut memerlukan suatu spiritualitas.

Menurut Hans Urs von Balthasar, Spiritualitas adalah sikap dasar praktis atau eksisitensial manusia yang merupakan konsekuensi atau ekspresi dari cara bagaimana ia mengerti eksisitensi keagamaannya. Dengan kata lain eksisistensi-eksistensinya, dalam ia bertindak atau bereaksi secara tetap dalam seluruh hidupnya menurut tujuan dan pemahaman-pemahaman serta keputusan-keputusannya yang dasariah.

Definisi di atas menampilkan unsur-unsur pokok pengertian umum spiritualitas. Pertama, ia mendasarkan bahwa spiritualitas berkenan dengan sikap dasar manusia, entah sebagai individu ataupun kelompok. Sikap dasar tersebut terbentuk dan didasari oleh sistem nilai mutlak agama (atau idiologi) yang dianut. Perkembangan selajutnya, definisi ini berkembang tidak hanya batas pada hidup batin melainkan menyangkut keseluruhan tingkah laku manusia pada setiap saat dalam kehidupannya. Manusia sebagai subyek spiritualitas tetaplah satu roh dalam dunia atau roh badani tersendiri. Dimana rohnya merupakan aspek sentral, dan ini berarti bahwa dia berada dalam sesuatu hubungan dengan “Yang Lain” yang transenden, walaupun Yang Lain itu hanya dibayangkan atau realitasnya sungguh disangsikan. Spiritualitas merangkum apa yang terdapat dalam budi manusia, bagaimana itu dipikirkan dan bentuk pengungkapannya dalam hidup sehari-hari seseorang. Semua itu dilandasi dan berorientasi kepada Yang Transenden, yang oleh manusia disadari memanggilnya secaara total dan tanpa syarat.

Jordan Auman, mendefinisikan spiritualitas menunjuk kepada setiap nilai religius atau etis yang dikonkritkan sebagai suatu sikap atau semangat yang nampak dalam tindakan sesorang.

SPIRITUALITAS PEMBINA

Nilai Pelayanan Pembina Kaum Muda

Di atas sudah dikatakan bahwa aspek hakiki yang paling utama Spiritualitas ialah realitas nilai, religius atau etis (yang mampu membentuk suatu sikap hidup yang mengarahkan dan menentukan tindakan-tindakan seseorang dalam hidupnya). Apabila kita berbicara Spritualitas kaum Muda tidak lepas dari tujuan pembinaan atau pendidikan. Biasanya dirumuskan: membentuk manusia dewasa, yang mampu berdiri sendiri dan bertanggungjawab serta berguna bagi sesama dan masyarakat. Pertanyaannya adalah Dimanakah tempat atau peran kaum muda katolik dalam proses tujuan ini? Untuk menjawab ini kembali ke Dokumen Konsili Vatikan II.

Dalam Deklarasi tentang pendidikan Kristen Gravissimum Educationis, (GE) ada tiga lembaga disebut sebagai pengemban tugas pendidikan: para orang tua, negara dan Gereja. Para orang tua disebut sebagai pendidik pertama dan utama. Tugas mendidik utama adalah wewenang keluarga dan membutuhkan bantuan masyarakat. Selain orang tua dan masyarakat Negara pun berperan dalam membina kaum muda. Akhirnya gereja disebut sebagai pembina karena ia dapat dianggap masyarakat manusia yang mampu mendidik dan terutama “gereja wajib mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang dan menyalurkan hidup Kristus kepada orang-orang beriman, serta membantu mereka dengan keprihatinan yang terus-menerus agar mereka dapat mencapai kepenuhan hidup ini” (GE a.3).

Dalam Kitab Suci merumuskan : Dan Ialah ( Kristus Tuhan) yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi, baik pemberita-pemberita Injil gembala-gembala, dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesasatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah Kepala. Daripada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayan semua baginya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih (Ef. 4:11-16).

Kutipan di atas memberikan dasar teologis dan Kristologis bagi nilai pelayanan pembinaan kaum muda. Tugas pembinaan adalah suatu karunia dari Kristus yang bangkit. Bahkan realita pertumbuhan sendiri bersumberkan kepada-Nya. Pelbagai ungkapan dan gambaran mengenai tujuan pelayanan pembinaan dalam Gereja menunjuk kepada kehidupan komunitas kristen, dan bukan hanya kepada orang-orang kristen secara individual. Ditegaskan antara lain bahwa tujuan pembangunan atau pembinaan ialah “kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”.

Menurut Joseph A. Grasi, ungkapan “pengetahuan akan Anak Allah” berarti memperoleh gambaran manusia sempurna, yang mempunyai kedewasaan dalam Kristus dengan menghayati corak kehidupan manusiawi yang merupakan ciri kehidupan Yesus sebagai Putra Allah. Ini mewujudkan suatu relasi baru seseorang dengan Allah sebagai Bapa dan suatu hubungan baru persaudaraan dan cinta kasih dengan sesamanya. Dengan demikian ungkapan “Kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” merupakan penegasan keterangan “Kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tenatang Anak Allah”.

Dengan demikian kita dapat merumuskan tujuan pelayanan pembinaan Kaum Muda dalam Gereja dengan dua kata: Kedewasaan iman. Kristus merupakan sumber dan tujuan serta ukuran dari kedewasaan tersebut. Tubuh Kristus dibangun, dan para anggotanya memperoleh kesatuan dalam Krisrus, suatu kesatuan yang berlandaskan pada iman yang sama akan Dia. Jadi Gereja merupakan sebagai suatu keseluruhan-kita semua-yang mencari kedewasaan penuh pada tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk. Ef. 1:22-23; 2:15). Kedewasaan iman menyangkut dua dimensi fundamental, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi vertikal berkaitan dengan relasi dengan Allah selaku Bapa, dimenis horisontal berkaitan dengan relasi sesama..

Dengan demikian menjadi jelas bahwa iman itu tidak hanya menyangkut hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan dan terbatas pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan ibadat dan tugas moral. Iman menyangkut semua segi kehidupan manusia, tidak terkecuali aspek duniawi. Konsili Vatikan II dalam GS artikel 43 ditegaskan bahwa; kelirulah mereka yang beranggapan seolah-olah urusan duniawi itu asing bagi kehidupan agama, karena mereka mengira bahwa kehidupan beragama terdiri hanya atas pelaksanaan kegiatan-kegiatan agama dan beberapa tugas moral. Orang Kristen yang mengabaikan tugas-tugas duniawi, mengabaikan tugasnya terhadap sesama, malah terhadap Allah sendiri dan membahayakan keselamatan abadinya.

P. Kasmir MSF

Sumber : http://msfmusafir.wordpress.com/2007/04/10/spiritualitas-pembina-kaum-muda-katolik/

baca selanjutnya...

Kamis, 14 April 2011

Spiritualitas Orang Muda Katolik Kontemporer

Ketika berbicara mengenai dunia kontemporer, maka segera terbersit dalam pikiran saya mengenai masalah sosial yang melanda dunia ini, seperti kelaparan, ketidakadilan, peperangan, perceraian, pergaulan bebas,...dll. Dalam kehidupan rohani orang muda (usia 18 – 30 tahun), budaya masyarakat modern ini menimbulkan sikap ambiguitas. “Jikalau kamu tidak mau datang..., janganlah kamu datang! Lakukanlah apa yang kamu sukai!” Gejala sekularisme ini membuat orang muda hanya mementingkan diri sendiri dan kebutuhan materinya saja daripada kehidupan rohani, bahkan di antara mereka ada yang menolak Allah dan semua kegiatan yang bersifat rohani, termasuk berdoa. Namun demikian, kita pun patut bersyukur karena masih banyak juga yang haus akan Allah dan selalu mencari kekuatan daripada-Nya. Mereka ingin memiliki hidup doa yang lebih mendalam dan mengalami Allah dalam hidupnya.

Gejala ini menunjukkan bahwa sebenarnya setiap orang muda kristiani memiliki kebutuhan untuk mendekat kepada Allah dan dipanggil menjadi tanda kehadiran Wajah-Nya di dunia. Hal ini bukan sebuah teori tetapi sebuah pesan yang memancar dalam kehidupan mereka. Tidak seorang pun diantara kita yang dapat menjawab tantangan dunia ini jikalau tidak menimba kekuatan dari Allah dalam jalan doa.

Paus Yohanes Paulus II berkata, “Kalian orang muda, kalian adalah harapan Gereja, dunia dan harapanku” (Roma, 31 Maret 1985). Beliau meminta perhatian Gereja, orangtua dan pendidik untuk membimbing dan mendampingi serta berjalan langkah demi langkah bersama kaum muda. Untuk itu kita perlu mengerti, memahami pengalaman hidup rohani mereka dan membantu mereka untuk menjadi saksi Kristus dalam hidup sehari-hari, berani berbicara mengenai Kristus dalam keluarga dan lingkungan belajar, bekerja dan bermain. Juga tantangan yang dihadapi oleh mereka untuk melaksanakan Kabar Sukacita.

Sharing tentang hidup rohani orang muda Katolik zaman ini, tidak terlepas dari kehadiran Pertapaan Karmel sebagai oasis di tengah padang gurun dunia. Di tempat ini orang muda mendapat bimbingan dan perhatian khusus, karena mereka akan menjadi tonggak-tonggak Gereja, anggota Gereja yang bisa diandalkan, dan menjadi garam dalam masyarakat. Di tengah keindahan alam ciptaan-Nya, kesunyian dan keheningan, mereka dibawa kepada pengalaman cinta kasih Allah yang menyelamatkan, menyembuhkan dan memulihkan, serta memberikan kekuatan dan motivasi baru untuk hidupnya.

1. KARAKTERISTIK ORANG MUDA
Orang muda senantiasa berusaha menemukan jati diri dan aktualisasi dirinya sendiri. Mereka juga lemah dan mudah terpengaruh oleh lingkungan hidupnya. Mereka selalu memilih yang menyenangkan dan memberikan kebahagiaan bagi dirinya.

a. ORANG MUDA DAN KELUARGA
Keluarga adalah dasar kehidupan sosial, dimana sejak kecil orang dapat belajar menghormati Allah dan mempergunakan kebebasan secara benar. Orang tua adalah orang pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya, di mana ada kemesraan, pengampunan, penghargaan, kesetiaan dan pengabdian tanpa pamrih. Orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar, supaya memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya. Mereka bertanggung jawab atas pendidikan iman, doa dan semua kebajikan pada anak-anaknya.

Pada zaman ini banyak keluarga yang mengalami pertikaian, perselingkuhan, perceraian, hamil di luar pernikahan, aborsi, orang tua tunggal, homoseksual, dan hubungan seks dengan banyak pasangan yang menyebabkan keluarga menjadi tidak harmonis. Orang muda memilih pergi dari rumah dan berkumpul bersama dengan teman-temannya, untuk menyembunyikan ketidakharmonisan. Banyak diantara mereka menganggap bahwa seksualitas bukan merupakan tanda persekutuan hidup dan kasih suami isteri, melainkan sebagai pemenuhan kepuasan dan utilitarianisme (paham penggunaan).

Akan tetapi banyak juga orang tua yang mempunyai hubungan harmonis dengan pasangan dan anak-anaknya. Mereka berusaha untuk lebih mengerti dan menyediakan waktu berdialog, sehingga terciptalah suasana keluarga yang bahagia dan saling mengasihi. “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yoh 13:35).

b. ORANG MUDA DAN TEMAN
Orang muda selalu mencari sahabat sejati. Bagi mereka seorang sahabat sejati memiliki keterbukaan, kejujuran dan kepercayaan yang timbal balik. Mereka dapat menghabiskan waktu bersama hanya untuk berbicara, bergurau, menonton, dll. Mereka menyukai hal yang sama dalam berpakaian, musik, olah raga dan pelajaran. Persahabatan ini dapat terjadi antara jenis yang sama atau pun berbeda.

Karena perpisahan dan perceraian orang tua mereka tidak mudah percaya kepada orang lain dan masa depan. Mereka dihantui perasaan ditolak, takut dipermainkan dan ditinggalkan. Mereka tidak merasa damai dan sukacita dalam menjalin persahabatan. Mereka juga takut untuk menikah dan mempunyai anak-anak. Oleh karena itu akhir hubungan persahabatan antara laki-laki dan perempuan, tidak selalu dalam wadah perkawinan, akan tetapi berhenti hanya pada hubungan emosi dan kepuasaan sesaat, tanpa kebahagiaan.

c. KEINGINAN UNTUK MENEMUKAN JATI DIRI
Seandainya orang muda dapat melalui krisis identitas yang dialaminya dengan baik, maka mereka akan memiliki rasa aman dan nyaman terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya berkembang dalam relasi dengan orang lain, namun mereka pun mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk dalam pergaulan.

Orang muda yang gagal melalui krisis identitasnya akan menarik dan menutup dirinya sendiri. Mereka tidak berhasil untuk memberikan kasih dan hidupnya untuk bersatu dengan orang lain. Kesaksian dari seorang pemuda, 28 tahun, menikah dan mempunyai seorang anak, “Saya sudah dewasa, tetapi saya tidak berhasil merasakan hidup sebagai orang dewasa. Saya tidak dapat memahami diri sendiri. Bagi saya, orang dewasa adalah orang tua saya. Saya mengalami pemberontakan dalam diri sendiri: dalam lubuk hati saya merasa sebagai seorang anak laki-laki atau pun remaja, dengan penderitaan yang dahsyat, akan tetapi penampilan saya adalah orang dewasa yang bekerja. Kehidupan sosial tidak membantu saya untuk menjadi dewasa.” Keadaan ini membuat orang muda mengalami kesulitan untuk bertindak dan bersikap dalam hidup sehari-hari.

Ada orang muda yang cenderung mencari pengalaman, selalu ingin tahu dan ingin mencoba. Penampilan mereka biasanya lebih liar dan sangat santai dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, baik yang positif maupun negatif. Mereka cenderung memiliki kepribadian yang impulsif, selalu bertindak tanpa berpikir atau merenungkannya terlebih dahulu. Mereka berkata, «saya pikir, inilah saya», dan dengan tindakannya mereka menyatakan «saya mencoba untuk membuat sensasi, jadi inilah saya».

Keadaan ini membuat mereka lemah dan tidak mampu berdiri sendiri, kepribadian yang tidak matang, dan dapat menimbulkan keputusasaan serta ketidakmampuan untuk menghadapi penderitaan.

d. TIDAK MEMPUNYAI TUJUAN HIDUP
Rencana hidup merupakan sebuah keterbukaan dari seseorang terhadap masa depannya, berhubungan dengan pandangan dan prioritas yang benar.

Ketakutan akan masa depan, membuat orang muda merasa lemah, menderita, terisolasi, ditolak, tidak mampu menentukan sebuah pilihan, tidak mau bertanggung jawab dan berusaha melarikan diri dari kenyataan yang ada, «saya hidup setiap hari tanpa program apa-apa», «saya tidak perlu berpikir untuk hari esok, yang penting saya senang hari ini», «saya tidak tahu tujuan hidup saya». Ada yang menghabiskan waktunya hanya untuk berpesta pora, khususnya pada waktu week-end, termasuk mereka yang mencoba minum-minuman alkohol dan obat-obatan, dan akhirnya terjerumus dalam narkoba. Ada juga yang merasa tidak berguna karena tidak mempunyai pekerjaan dan tidak tahu apa yang mau dikerjakan.

Orang muda yang memiliki tujuan hidup bagi masa depannya memiliki pola hidup yang lebih baik, damai, adil, bersahabat, dan berkembang dalam kasih terhadap sesama dan lingkungannya. Dengan penuh pengharapan mereka menjalani kehidupannya sekalipun mengalami kesulitan.

f. ORANG MUDA DAN MEDIA KOMUNIKASI
Tekhnologi telematik modern (computer, satelit TV, fax, telepon genggam, internet, dll) membangun sebuah komunikasi yang lebih dekat tanpa melihat jauhnya jarak dan tempat. Internet dan pos elektronik merupakan sebuah contoh yang baik. Demikian juga satelit TV menjadikan orang muda mengerti dan memahami situasi dunia saat ini, termasuk hal yang spektakuler.

Setiap media komunikasi memiliki hal yang positif dan negatif. Media komunikasi membantu kita untuk mengetahui berita yang terbaru di dunia saat ini, akan tetapi orang muda dapat jatuh karena ketidakmampuannya untuk memilih yang baik dan yang buruk dalam menggunakan media komunikasi ini. Mereka sedang berjalan dalam bahaya: kenikmatan seksual, ketidakmatangan jiwa, ideologi yang negatif, individualisme dan solidaritas yang keliru.

Paus Paulus VI berkata kepada para orang tua, “Bantulah orang muda ini untuk menjaga dan memelihara benih yang kudus dalam hati mereka. Ini merupakan tugas yang sulit dan membutuhkan banyak pengurbanan dari kalian; akan tetapi satu hari nanti kalian akan memetik hasilnya yang besar” (Turin, 24 April 1972). Oleh karena itu orang tua harus percaya dan berani untuk membimbing dan memperkenalkan nilai-nilai kesusilaan bagi anak-anak mereka. Orang muda harus berkembang dalam kebebasan yang benar dalam menghadapi tantangan dunia saat ini.

2. KEHIDUPAN ROHANI ORANG MUDA
Orang muda Katolik di Indonesia seharusnya berani untuk mengakui identitas mereka di hadapan sesamanya. Ia dapat bertanya pada dirinya sendiri: «Siapakah Yesus bagiku? Siapakah Yesus bagimu? Dan siapakah Yesus bagi kita? Tidak cukup hanya mengatakan bahwa kami “percaya kepada Allah” sebab mereka yang berasal dari agama lain pun percaya kepada Allah. Melalui pengalaman mengikuti camping rohani atau pun retret yang diadakan di Pertapaan Karmel, mereka merasa dipulihkan dan diteguhkan untuk tetap setia dalam iman dan pengharapan kepada Yesus sekalipun dikucilkan atau pun terisolasi di sekolah, universitas, dan kantor.

a. IMAN KEPADA ALLAH
Iman adalah satu ikatan pribadi manusia kepada Allah. Pengalaman dicintai oleh Allah memberikan kebahagiaan sejati: “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Jauh dari pada-Mu akan binasa... Aku suka dekat pada Allah...”(Mzm 73:25-28)
Ketika ditanya banyak orang muda menjawab bahwa hidup mereka menjadi berharga sebab Allah yang menciptakan, dan karena kebangkitan Kristus yang telah membebaskan dari kematian dan dosa. Akan tetapi ada juga yang mengatakan: «saya selalu berusaha untuk merenungkan kasih-Nya dalam hidup sehari-hari, dan saya percaya bahwa Dia tidak pernah meninggalkan saya sendirian».

Penolakan terhadap Allah terjadi karena orang muda berpikir bahwa percaya kepada Allah berarti harus mentaati berbagai peraturan-Nya yang ada: «saya tidak mau percaya, sebab saya harus bertanggung jawab terhadap pilihan saya» atau «manusia itu berasal dari kera, bukan keturunan Adam dan Hawa. Saya percaya pada teori evolusi manusia». Ada juga orang muda yang menjadi tidak percaya kepada Allah karena banyak mengalami kekecewaan, kesedihan dan penderitaan dalam hidupnya.

Beberapa orang muda percaya kepada Allah karena kuasa-Nya dan bukan karena manifestasi kasih, kehendak dan belaskasih kerahiman-Nya: «saya percaya kepada Allah Mahakuasa karena Dia yang menguasai semuanya». Banyak juga yang mengatakan: «menurut saya Allah adalah segala-galanya»; «Allah adalah Hidup, dan Dia yang menyelenggarakan hidup saya». Mereka menjadi percaya kepada Allah setelah mengalami perubahan atau diperbaharui oleh Allah sendiri, sehigga mereka menjadi lebih bertanggung jawab terhadap imannya.

b. GAMBARAN TENTANG ALLAH
Kitab Suci dan liturgi Gereja memberikan gambaran tentang Allah yang baik dan penuh kasih. Sebaliknya bagi orang muda yang menolak Allah, ia menganggap Allah sebagai «hakim dan penghukum», akan tetapi ada yang mengatakan juga bahwa Allah adalah bapak yang berbelaskasih dan mengampuni: «Allah adalah bapak, dan dalam waktu yang sama Dia mengadili, tetapi tidak menghukum karena belaskasih kerahiman-Nya», «untuk saya Allah adalah hakim, namun Dia tidak pernah menghukum, Dia menerima setiap persoalan dan beban hidup serta kelemahan saya». Orang muda yang memiliki pengalaman buruk dalam keluarganya: «Allah bagaikan seorang hakim yang siap untuk menghukum saya»; «bagaimana saya dapat mengucapkan doa Bapa Kami dengan segenap hati, saya takut kepada-Nya?».

Yang lain melihat Allah melalui semesta alam: «saya percaya kepada Allah yang hadir melalui ciptaan-Nya, pada siang hari, malam hari, pada kelahiran...». Banyak juga yang mengalami Allah sebagai sahabat atau kasih yang mengampuni, yang mengenal dan mencintai setiap pribadi, Dia mencintai saya, Dia menolong saya, Dia menopang saya, padaNya saya percaya dan berharap, dengan-Nya saya percaya dan menyerahkan diri seluruhnya.

c. GAMBARAN TANTANG YESUS
Pada suatu kali ketika Yesus berdoa seorang diri, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka: "Kata orang banyak, siapakah Aku ini?" Jawab mereka: "Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit." Yesus bertanya kepada mereka: "Menurut kamu, siapakah Aku ini?" Jawab Petrus: "Mesias dari Allah" (Luk 9:18-21). Yesus pun bertanya kepada kita semua termasuk kepada orang muda.
Menurut beberapa orang muda, Yesus adalah seorang nabi, manusia yang sempurna, seorang model yang baik untuk dicontoh, seorang pembela keadilan bagi orang miskin dan sederhana, pembawa pesan Allah dan membawa orang untuk bertobat: «bagi saya Yesus adalah seorang nabi besar», «Dia adalah seorang model yang paling sempurna bagi kehidupan saya».

Banyak yang mengatakan bahwa Yesus adalah Allah kita: « Putera Allah yang mencintai dan menyelamatkan kita. Kita dapat melihat-Nya dalam Ekaristi». Seringkali mereka bingung membedakan Allah Bapa dan Yesus: «Saya tidak dapat membedakan antara Allah Bapa dan Yesus Kristus».

d. HUBUNGAN DENGAN ALLAH
Bentuk hubungan dengan Allah sangat dipengaruhi dengan gambaran orang muda tentang Allah. Biasanya mereka mencari cara untuk bertumbuh dalam kedewasaan pribadi dan rohani, baik secara individu maupun komunitas: «hubungan saya dengan Allah dimulai dalam keluarga, kami berdoa bersama, namun saya pun memiliki hubungan dengan-Nya secara pribadi», «saya lebih dapat berkomunikasi dengan Dia daripada dengan orang lain, Dia mendengarkan saya dan saya berusaha mengikuti jalan-jalan-Nya».

Hubungan dengan Allah semakin intim dalam pengalaman hidup rohani melalui doa dan situasi bahagia atau sedih dalam hidup sehari-hari: «saya datang kepada Allah kalau saya memerlukan sesuatu. Saya akan berterimakasih kepada-Nya dan memohon ampun», «setiap kali mengalami kesulitan, saya memohon bantuan-Nya, kemudian saya akan berusaha membalas kebaikan-Nya dalam hidup saya», «saya merasakan kehadiran-Nya», «Dia selalu menyertai saya», «saya serahkan diri saya kepada-Nya».

Orang muda berusaha menjalin hubungan dengan Allah dalam dialog, permohonan, ucapan syukur, atau penyerahan diri. Dialog dengan Allah berarti berbicara dengan Allah yang mendengarkan dan berbicara dalam Kitab Suci, perayaan liturgi, peristiwa hidup sehari-hari: kecemasan, persoalan, kesulitan, tingkah laku, dan cita-cita: «Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui» (Yer 33:3). Mereka bertumbuh dan menjadi dewasa dalam penyerahan diri yang menjadi dasar membangun sebuah pengharapan:

- Hubungan dengan Yesus
Biasanya orang muda berpikir tentang Allah dalam cahaya kuasa-Nya, menghancurkan musuh-musuh-Nya dengan tangan-Nya dan pemenang yang jaya. Seluruh kehadiran Kristus merupakan tanda kehadiran Allah yang penuh misteri, Dia rela menderita dan wafat di kayu salib.

Namun sayang, ada beberapa orang muda tidak dapat menerima cinta-Nya karena mereka hanya menganggap bahwa Yesus adalah seorang manusia biasa: «dengan Yesus saya tidak memiliki hubungan apa-apa», «tidak, saya tidak mempunyai hubungan dengan Dia, saya menganggap bahwa Dia adalah salah seorang yang hidup dalam sejarah».

Bagi yang lain hubungan dengan Yesus bagaikan sahabat dan ada kepercayaan bahwa Dia yang membimbing, memberikan ketenangan dan menjaganya: «ketika berbicara dengan Yesus, saya melihat-Nya sebagai sahabat», «saya memiliki hubungan yang erat dengan Yesus, sebab Dia memberikan ketenangan dan perlindungan», «sangat intim dalam doa». Beberapa gadis menganggap Yesus mempelai mereka: «Dia adalah pasanganku». Yang terakhir adalah mereka yang merasakan kehadiran-Nya dalam Ekaristi yang mendorong utuk menjalin hubungannya dengan sesama.

- Praktik hidup rohani
Pada zaman ini, perubahan budaya sangat mempengaruhi kehidupan orang muda. Banyak orang yang mengisi hari-hari hidupnya hanya untuk mengumpulkan uang, kekayaan, kebebasan, kebahagiaan daripada mencari Allah. Seringkali orang muda mencari kebahagiaan dengan berbagai cara: «hari Minggu adalah hari pembebasan dan kebahagiaan bagi semua orang. Hari Minggu sebagai hari Tuhan hanya untuk para religius yang harus berdoa bagi semua orang di dunia ini», «Hari-hari untuk Tuhan hanya Paska dan Natal saja», «kalau saya mengalami kesedihan, kesulitan atau penderitaan, saya akan berdoa Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya, dll...», «hari Minggu adalah hari istirahat, liburan dan pembebasan dari keletihan setiap hari», «mengapa kita harus ke Gereja di hari Minggu? Mengapa tidak ditukar dengan hari yang lain, supaya kita dapat beristirahat dan bersenang-senang?», «kotbahnya sangat berat dan bahasanya sangat tinggi untuk saya. Sayang saya tidak mengerti apa-apa».

Beberapa orang muda bertanya: «mengapa kita harus beragama? Mungkin kalau kita tidak beragama, kita dapat hidup dengan tenang dan damai tanpa ada ketakutan menjadi murid Kristus! Sebab kita terancam dari kelompok yang besar. Baiklah kita berganti baju saja, sehingga kita dapat hidup dengan tenang dalam hidup».

Sementara mereka yang aktif dalam doa dan perayaan Ekaristi hari Minggu: «saya melaksanakan kehidupan rohani yang baik dan berusaha untuk hidup berdasarkan Sabda Tuhan», «setiap bulan Mei dan Oktober, kita berdoa bersama Rosario dari rumah ke rumah»

Beberapa orang muda turut aktif dalam kegiatan para imam dan biarawan/ti, menjadi tenaga sukarela dan memiliki solidaritas terhadap sesamanya

- PENGALAMAN KEHADIRAN ALLAH
Pengalaman kehadiran Allah yang dialami oleh orang muda biasanya mempengaruhi juga keadaan dirinya, pikikiran, perasaan, tindakan, sosial dan budaya, juga kehidupan pribadi dan komunitasnya yang menimbulkan dorongan, keinginan, keraguan, penghormatan, pengharapan, kebahagiaan, pengetahuan, tujuan, dll. SantoYohanes menulis, “Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga.” (1Yoh 1:3).

Banyak orang muda, sekalipun tampaknya jauh dari Allah, mengalami pengalaman hidup rohani kristiani yang benar: «saya merasakan kehadiran Allah di dalam kehidupan saya, misalnya mulai dari matahari tebit, sepanjang hari saya merasakan kehadiran-Nya yang kudus dalam ciptaan-Nya». Sebuah pertemuan dengan Allah yang hadir dalam seluruh kehidupan manusia: «saya merasakan kehadiran Allah di segala tempat». Beberapa mengatakan bahwa mereka merasakan kehadiran Allah dalam liturgi, doa dan keheningan: «saya percaya bahwa Allah sedang mendengarkan doa-doa saya.

Ketika saya mengirimkan sebuah SMS kepadamu, kamu tidak melihat saya, tetapi saya percaya bahwa kamu sedang membaca SMS saya dan kadangkala kamu pun menjawabnya. Jadi, ketika saya berdoa, saya tidak melihat Dia, akan tetapi saya percaya Allah sedang mendengarkan setiap perkataan saya».

Mereka yang telah memiliki hidup doa yang lebih baik, mengatakan bahwa Allah hadir sebagai pribadi dan sangat nyata dalam kehidupannya: «saya merasa bahwa ada pribadi yang sangat mencintai dan selalu bersama saya, terutama pada saat saya ingin melakukan sesuatu yang kurang berkenan kepada-Nya, saya merasakan pertentangan batin yang begitu kuat dalam hati saya. Dia begitu hidup!», «dalam hidup sehari-hari saya merasa ada yang menguasai hidup, Dia membimbing saya», «pada saat saya membutuhkan-Nya, saya merasakan kehadiran-Nya» atau «dalam setiap hal yang sangat kecil pun, saya merasakan perlindungan-Nya setiap hari».

Ada juga orang muda yang merasakan kedekatan dengan Allah seperti anugerah khusus dari Yesus Kristus dalam kehidupan mereka: «hidup saya adalah anugerah Allah dan saya sangat senang hidup di dalam-Nya», «Yesus hadir dalam kehidupan dan pikiran saya».

Beberapa mengalami kehadiran-Nya dalam perayaan sakramen-sakramen sebagai pengalaman penyelamatan-Nya yang kudus: «Yesus, bagi saya, hadir secara khusus dalam Ekaristi dan orang-orang yang berbicara tentang Dia». Sakramen pengampunan dosa membuat mereka semakin mendekat kepada Allah dan merasakan belas kasih kerahiman-Nya dalam hidup dan menarik mereka untuk datang kepada-Nya dan bersatu dengan Dia: «Sakramen pengampunan dosa menyembuhkan jiwa saya» , «setelah mengakukan dosa, saya merasa ringan dan bebas, saya merasa semakin dekat dengan Dia».

Akan tetapi ada beberapa orang muda tidak mengalami kehadiran Allah dalam hidup-Nya: «Siapa Allah? Tidak ada Allah! Allah adalah sebuah proyeksi dari sebuah keinginan yang tidak terpuaskan. Sebuah ilusi! Kita harus mencari kepuasan dalam hidup!». Inilah tantangan bagi kita sebagai misionaris pada zaman ini: bertemu dengan orang muda, laki-laki dan perempuan tanpa Allah, yang tampaknya bahagia dan bersahaja, namun hatinya kosong dan haus akan kasih.

3. TANTANGAN YANG DIALAMI ORANG MUDA DALAM GEREJA
Kita dapat semakin memahami kehadiran Allah melalui pengajaran yang disampaikan dengan kata-kata dan bahasa yang sederhana. Gereja berkumpul bersama, mendengarkan Sabda Allah dan menjawab dengan puji-pujian dan syukur atas rahmat dan belaskasih kerahiman-Nya. Jawaban kita tercermin dalam pengalaman hidup sehari-hari. “Pembawa berita” dan “Penerima berita” saling mempengaruhi, karena mereka adalah sebuah kesatuan yang dapat menyebarkan sebuah pesan yang mendalam dan kuat. Komunikasi adalah sebuah proses yang terjadi antara dua orang atau lebih dalam sebuah situasi bersama dan mereka berbicara tentang sesuatu yang bermakna. Dalam kenyataannya orang muda seringkali mengalami kesulitan dalam dialog ini.

a. MASALAH PESAN
Komunikasi adalah saat seseorang berbicara kepada orang lain. Ia dapat berbicara menggunakan kata-kata (komunikasi verbal), tangan, mata, tubuh, silensium, gambar, surat, seni, fotografi (komunikasi non verbal). Tidak akan terjadi komunikasi apabila tidak ada hubungan timbal balik, datang dan kembalinya pesan. Dalam setiap komunikasi ada subyek sebagai pembawa pesan dan ada rekan bicara yang menerima pesan ini.

Kesulitan terjadi apabila pesan yang diterima berbeda dengan maksud dari pembawa berita. Penerimaan pesan ini tergantung dari kemampuan berpikir, budaya, kemampuan berbicara, kedudukan dalam kelompok dan pengalaman masa lalu, nilai-nilai, pembinaan dan perkembangan lingkungan hidup. Hambatan ini dapat terjadi dari si “pembawa pesan”, “penerima pesan” dan “saluran.” Sebagai contoh: berbicara mengenai doa kepada orang muda, jelas berbeda ketika berbicara kepada para suster atau frater. Seringkali orang muda mengeluh: «kotbah-kotbahnya berat banget, bahasanya terlalu tinggi. Sayang, saya tidak mengerti apa-apa». Orang muda seringkali tidak dapat memahami dan mengalami kesulitan dalam komunikasi.

b. MASALAH PERASAAN
Komunikasi terganggu karena dipengaruhi oleh perasaan yang timbul pada setiap orang ketika sedang berbicara dan mendengar. Dalam mewartakan Kabar Gembira, biasanya disampaikan sebuah kritikan dan saran yang baik untuk membangun kehidupan sehari-hari.

Sebuah komunikasi dirasakan, apabila berbicara mengenai sesuatu; berdasarkan kenyataan dan memiliki arti bagi si penerima pesan. Sebenarnya komunikasi yang baik dapat tejadi bila orang mau meneliti kembali perasaannya dan menyadari bahwa pertumbuhan iman merupakan tanggung jawab setiap orang.

Zaman ini banyak orang muda meninggalkan imannya dan berusaha membuat pertanyaan-pertanyaan untuk membenarkan dirinya sendiri: bagaimana seharusnya manusia dapat menerima Kabar Sukacita itu? Apakah yang dapat mendorong orang muda Katolik untuk mewartakan Injil yang bertemu dengan penderitaan dalam setiap hati manusia? Sekularisme merupakan tantangan yang terbesar zaman ini untuk evangelisasi bagi orang muda.

c. MASALAH BAHASA
Komunikasi tentang iman sangat membutuhkan kata-kata dan tanda-tanda yang sederhana, nyata dan menyentuh hati. Bagaimana berbicara mengenai Allah? Bahasa yang baik adalah yang dapat membuat pengalaman kehadiran Yesus hidup dalam komunitas tersebut dan memperlihatkannya dalam kepercayaan di hadapan setiap orang muda.

Paus Paulus VI mengatakan bahwa orang zaman ini lebih senang mendengarkan seorang saksi daripada seorang pengajar, kalaupun ia mendengarkan seorang pengajar karena ia adalah seorang saksi juga. Setiap kita dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada orang muda dan janganlah menolaknya, lakukanlah dengan kerendahan hati, dengan hati dan dengan hidup. Mereka akan menemukan nilai-nilai moral melalui pengalaman hidup rohani mereka. Kita pun dapat memberikan contoh orang-orang dalam Kitab Suci dan para kudus pada masa lalu dan zaman ini.

d. MASALAH TEMPAT
Setiap komunikasi terjadi pada sebuah tempat sementara yang tepat, termasuk ketika berbicara mengenai iman. Tempat dimana orang muda hidup dan berkembang dalam pengalaman hidup rohani mempengaruhi kehidupan mereka. Krisis tempat ini membuat kesulitan dalam mengkomunikasikan iman pada orang muda sehingga menimbulkan permasalahan hingga saat ini. Pribadi Yesus adalah hidup, pengalaman memberikan pesan berharga.

Menghadapi krisis ini, orang muda mencari kelompok-kelompok baru untuk mengidentifikasikan dirinya. Salah satu tempat ini adalah komunitas gerejani dalam acara liturgi, hidup dalam komunitas, pertemuan orang muda dan manifestasinya, kunjungan ke tempat-tempat berdoa atau ziarah.

e. MASALAH HUBUNGAN
Kita dapat bertanya pada diri sendiri bagaimana seharusnya pengalaman hidup rohani saya sebagai orang yang percaya dan yang hidup dalam komunitas? Apa yang dialami oleh orang muda?

Pengalaman memberikan sebuah pesan, menghasilkan buah berlimpah dalam kehidupan baru. Bagi banyak orang muda, apalagi, pengalaman akan hidup rohaninya dipengaruhi pesan yang selalu diterimanya secara khusus dalam hubungan antara pemberi pesan dan penerima pesan. Jadi evangelisasi yang efektif adalah diberikan bukan hanya isi pesannya saja yang berbobot dan dari kelompok mereka, akan tetapi juga dalam hubungan yang baik antara komunitas gerejani dan orang muda. Jikalau hubungan itu sangat lemah, maka pesan yang baik pun tidak akan pernah sampai kepada mereka.

4. PENDAMPINGAN ORANG MUDA
Pendampingan terdiri dari dialog pribadi dan formal, dan menjalin hubungan bersama yang dapat membantu orang muda mengenali nilai-nilai hidupnya dan merenungkan pengalaman hidup yang dialaminya menurut situasi dan orientasi pribadi, dan akan menjadi terang dalam kehidupan mereka.

Mungkinkah seseorang yang tidak sedang berjalan menuju kepada kepenuhan hidup kristiani dapat mendampingi sesamanya dalam jalan menuju kedewasaan rohani? Jalan menuju kedewasaan rohani, bukan jalan sendirian, akan tetapi sebuah perjalanan bersama. Oleh karena itu perlu dialog antara orang muda dan para pembina atau pendamping sebab dengan saling berbagi dan percaya akan tercapai kehidupan yang lebih berharga dan bahagia.

Pendampingan kepada orang muda terjadi karena: kehadiran orang muda: ada keinginan untuk mengenal mereka dan berbagi dengan kehidupan mereka, suasana kekeluargaan, kasih dan percaya; kehadiran para pembimbing dalam kelompok: mereka memberikan nasehat, saran, dialog dengan setiap orang muda; dialog pribadi: sistematis dan teguh, menjadi benar dan bimbingan rohani; yang membawa mereka kepada sakramen pengampunan dosa dan Ekaristi.

Pendampingan orang muda merupakan sebuah perjalanan yang bertahap, dituntut waktu dan kesabaran. Pendampingan rohani harus mendorong semangat untuk bertumbuh dalam hidup rohani sampai mencapai kepenuhannya dan menghasilkan buah-buahnya, terutama persatuan cinta kasih dengan Allah dan kasih kepada sesama dalam pelayanan dan kesaksian hidup. Perjalanan rohani adalah perjalanan yang dinamis.

KESIMPULAN
Ketika berbicara mengenai orang muda, kita perlu perhatian, jangan tergesa-gesa membuat penilaian yang umum. Kita perlu melihat kenyataan yang ada seperti latar belakang budaya dan pengalaman hidup rohani orang muda tersebut. Sebaiknya kita belajar untuk melihat dan merenungkan kehidupan mereka. Akan tetapi kehidupan orang muda bila dilihat dari segi psikologi dan sosiologi hampir sama semuanya di seluruh dunia.

Setelah kita mengenal bagaimana kehidupan orang muda dalam situasi mereka, maka kiranya kita pun dapat membimbing, menolong dan mengajarkan mereka untuk mencintai Allah dan kehidupannya. Bukankah kita semua dipanggil Allah dalam kehidupan dan cinta-Nya? Marilah kita membawa orang muda untuk “melihat Allah” yang senantiasa hadir dalam hatinya (1Kor 3:16). Bersama para peziarah di Sion, orang muda pun dapat mengulang-ulangi: «wajah-Mu kucari, ya TUHAN» (Mzm 27:8).

Pertapaan Karmel,
Sr. Maria Sesilia, P.Karm

Sumber : http://www.seminarikwi.org/

baca selanjutnya...

Sabtu, 09 April 2011

"Hai Anak Muda, Aku Berkata Kepadamu, Bangkitlah!"

Saudara-saudari terkasih, khususnya teman-teman muda sekalian, dalam Lukas 7: 11-17, Santo Lukas mengisahkan sebuah mukjizat yang dikerjakan oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam kisah mukjizat tersebut diceritakan bagaimana Yesus membangkitkan seorang pemuda – anak seorang janda dari Nain – yang telah meninggal dunia. Tuhan merasa sedih melihat sang janda, yang anak satu-satunya telah mati itu. Karena kasih-Nya, Tuhan kita kemudian menjamah anak muda tersebut dan mengembalikan hangatnya kehidupan ke dalam raganya.

“Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!” Inilah kata-kata Yesus kepada orang muda tersebut. Perintah Tuhan ini didengar oleh anak muda tersebut. Dan karena itulah, anak muda ini kembali dari dunia kematian untuk melaksanakan perintah Tuhan kita. Disana kita semua, terutama orang muda, diajak untuk mengingat bahwa kita diwariskan sepercik api gairah, yang semestinya memancar dalam kehidupan orang muda, seturut indahnya dinamika hidup yang dihadapi dengan segala macam kebutuhan dan tantangan yang ada.

Memang, keberadaan kaum muda biasanya diidentikkan dengan kobaran gairah, kreativitas, dan harapan masa depan. Kaum muda seringkali diposisikan sebagai generasi para penerus, gerenasi yang pada waktunya nanti akan mengemban estafet pengembangan kehidupan, dan dengan demikian berarti juga pengembangan dunia. Kaum muda katolik tidak lepas juga dari kelompok tersebut.

Kaum Muda dan Iman

Kaum muda terkasih dan saudara-saudari sekalian, bulan ini kita bersama-sama memperingati hadirnya Allah ke dalam dunia. “Emanuel, Allah beserta kita”. Bersama kita memperingati bagaimana Allah menjadi seperti kita, manusia, melalui Yesus Kristus, Putera-Nya, Tuhan kita. Dalam Peristiwa ini, kita diajak mengenangkan kembali Bapa Yosef dan Bunda Maria. Dalam peristiwa iman ini kita diajak kembali mengingat bahwa khususnya melalui Maria, Bunda kita, sang Sabda itu telah menjadi Manusia. Dalam diri manusia Maria ini, benih Ilahi tumbuh dan berkembang dan menjadi anugerah yang sungguh berlimpah kepada seluruh umat manusia.

Vere Homo, Homo Verus. Benih Ilahi ini menjadi sungguh-sungguh manusia. Dan sebagai manusia, Ia menjadi teladan manusia yang hidup benar di hadapan Allah. Manusia tidak hanya dipercaya menghadirkan benih Ilahi itu, namun juga mendapatkan anugerah untuk menumbuh-kembangkan benih itu. Dalam diri manusia Yesus, sang Sabda menjelma menjadi Allah yang sungguh nyata terlibat dengan segala pengalaman manusia.

Maria sebagai teladan umat beriman mengajarkan kepada kita semua bahwa manusia, sekecil dan serapuh apapun, membawa dalam dirinya benih Ilahi, yang menunggu untuk dirawat dan dikembangkan. Benih ilahi ini tertanam dalam setiap sanubari kehidupan, agar dengannya manusia, dan akhirnya seluruh kehidupan, diarahkan kepada Allah dan memuliakan sang Sumber kehidupan sendiri.

“Hai anak muda, Aku berkata kepadamu bangkitlah!” Sabda ini menjadi undangan bagi kita semua, terutama orang muda katolik itu sendiri. Untuk menghargai hidup yang kita miliki sebagai undangan untuk datang kepada Allah, serta untuk terlibat dalam karya Allah di dunia sejak saat ini. Kita semua diundang untuk mengisi dan mewarnai kehidupan, agar menjadi semakin berkembanglah hidup bersama.

Tantangan Hidup Orang Muda

Setiap manusia memiliki tantangan dan dinamika masing-masing. Tidak jarang pula, tantangan ini menjadi milik sebuah generasi secara umum. Acapkali pula, tantangan ini menjadi sebuah keprihatinan yang membutuhkan banyak pikiran dan perhatian. Begitu pula dengan orang muda. Tuntutan hidup dan berbagai tawaran kehidupan kiranya membentuk pula orang-orang muda menjadi 'anak-anak zaman' dengan segala cirinya. Suasana kehidupan ini seringkali juga ditemukan sebagai sebuah nilai atau kriteria hidup yang diarah dan dicoba dicapai oleh orang muda sendiri.

Pada jaman ini, orang muda hidup dalam suasana yang memiliki berbagai kemungkinan namun sekaligus juga kewajiban. Saat ini, orang muda seringkali tenggelam dalam kesibukan hidup mereka sendiri baik itu dunia studi maupun pekerjaan, meski kadang ada pula yang menimbulkan keprihatinan karena hidupnya yang seolah ogah-ogahan. Seringkali, orang muda secara realistis mengatakan bahwa keterlibatan mereka dalam kegiatan menggereja tidak memiliki dampak perkembangan bagi diri mereka pribadi, misalnya untuk mendapatkan pekerjaan.

Dalam dunia orang muda sendiri umumnya terdapat beragamnya komunitas. Komunitas ini terentang dari komunitas teritorial gerejawi, sampai pada komunitas-komunitas kategorial, bahkan sampai komunitas yang terjadi karena pertemanan. Keragaman komunitas di kelompok orang muda tentu menjadi kekuatan tersendiri bagi orang muda sendiri untuk mengembangkan diri, sekaligus juga bagi gereja. Namun, kemajemukan ini seringkali kurang dibarengi dengan kesadaran sebagai satu warga Gereja yang sama.
Oleh karena itu, pentinglah pelbagai macam persoalan ini direnungkan dan disikapi dengan bijak. Selain itu, sangatlah dibutuhkan keterlibatan semakin banyak orang untuk memikirkan, bagaimanakah persoalan-persoalan ini mestinya ditanggapi.

Mulailah Saat Ini !!

“Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!” Undangan ini berlaku saat ini juga. Seperti pemuda dari Nain ini, kitapun diminta bangkit, mulai dari sekarang. Perlulah kiranya disadari, bahwa kaum muda sebagai masa depan Gereja adalah juga masa kini Gereja. Masa depan terbentang luas. Namun, masa depan tidak dibentuk dalam cita-cita dan idelaisme belaka. Masa depan dibangun pada masa hidup kita.

Masa depan yang luas dan menjanjikan tersebut akan memiliki arti bila masa depan itu dibentuk, diberi media untuk tumbuh, sejak saat ini. Oleh karena itu, keterlibatan dan pendampingan bagi kaum muda menjadi tanggung jawab bersama, juga dalam hidup kita saat ini. Undangan Tuhan kepada pemuda di Nain menjadi undangan pula bagi setiap orang muda. Namun, undangan itu juga merupakan tanggungjawab setiap anggota Gereja semua. Kaum muda adalah bagian warga Gereja dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki kaum muda, baik sebagai pribadi maupun dalam kebersamaan. Dalam keadaan itu, sangatlah dibutuhkan perhatian dan kemurahan hati.

Perhatian dan kemurahan hati, agar mereka bisa belajar menjadi generasi penerus Gereja. Dalam pada itu, berarti pula pengertian dan kesabaran untuk membantu berkembang, meskipun kadang mereka ini jatuh dalam kekeliruan. Orang berkata 'belajar tak mungkin tanpa kesalahan'. Namun, kaum muda sendiri, berupayalah membuat yang terbaik bagi diri anda sendiri dan semua saudara beriman. Kemurahan hati yang ditunjukkan mesti dibarengi dengan tanggungjawab pribadi, supaya kemurahan hati itu tidak diselewengkan menjadi kesempatan untuk hidup bermalas-malasan. Meskipun kadang mereka sungguh ingin menampilkan jati diri kemudaannya, janganlah melupakan warisan iman yang terbukti nyata mengembangkan kehidupan menggereja. Harapan kita bersama, semoga dengan demikian, Gerejapun tumbuh menjadi naungan bagi setiap jiwa. Kini, maupun di masa yang akan datang.
(Mopoer pr)

Dikutip dari : http://buletinlenterabanyumanik.blogspot.com/2009/02/hai-anak-muda-aku-berkata-kepadamu.html

baca selanjutnya...

Selasa, 05 April 2011

Kaum Muda Saatnya Menampakkan Jati Diri

Hari sudah mendekati senja, kira-kira saat itu pukul 17.00, kru Lentera datang di kediaman Bapa Uskup, di kawasan Jl. Pandanaran Semarang, untuk wawancara tentang kehidupan kaum muda di dalam Gereja.

Inilah hasil wawancara singkat kru Lentera dengan Bapa Uskup.

Menurut Bapa Uskup siapakah kaum muda itu ?

Kata siapa, artinya menunjukkan identitas, maka kita tidak bisa berbicara secara umum tentang kaum muda. Saya berikan contoh saja, ini pengalaman kecil, suatu ketika saya menghadiri pertemuan, sesudah pertemuan yang namanya sampah berserakan dimana-mana, kemudian saya tinggal sebentar dan kembali ke situ bersih semua...bersih. Kemudian saya menyapa mereka dan jawaban mereka adalah ”Ya Romo, kami ini adalah kelompok kaum muda pencinta lingkungan hidup”.

Masih banyak lagi contohnya. Kalau mahasiswa memiliki sejumlah uang tertentu, dan disuruh memilih, untuk membeli apa ? mereka lebih memlih membeli pulsa dari pada membeli buku pelajaran. Sehingga kalau ditanya siapa kaum muda itu jawabnya susah, tergantung dari kelompok mana mereka.

Secara teoritis, kaum muda yang berkembang secara fisik, psikologis, rohani sesuai dengan usia-usianya. Secara fisik tentunya terjaga kesehatannya, makan makanan yang menyehatkan. Kalau dilihat secara psikologis, kaum muda sedang mencari identitas diri, dibutuhkan kesungguhan untuk mencarinya. Tidak hanya ditentukan oleh arus, atau hal-hal yang dari luar dan menuju kematangan. Mulai bisa membedakan hal baik atau buruk, dan menentukan prioritas.

Ketiga secara rohani, mungkin agak sulit, masih dilacak dalam diri orang muda, tetapi benih-benih kerohanian iman nampak. Kongkretnya, apakah orang muda itu memberi waktu yang memadai untuk mengendapkan pengalaman dan memaknai dari sudut iman, menyisihkan waktu untuk bersyukur, membiarkan dirinya disapa oleh Tuhan.

Tergantung gambaran kaum muda yang mana. Tidak dapat dikatakan secara umum, ada yang mendekati, ada yang memang jauh. Hal tersebut harus dicari, tidak bisa dikatakan orang muda sekarang seperti ini atau seperti itu, harus dilihat dengan sungguh-sungguh, bagaimana caranya yaitu dengan bertanya.

Mengapa tahun ini dijadikan sebagai tahun kaum muda?

Ini merupakan rangkaian ardas (arahan dasar) KAS dari tahun 2006-2010, untuk menjadikan keluarga sebagai basis hidup beriman, tahun 2009 sebagai tahun kaum muda, dimana suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dalam keluarga. Keuskupan Agung Semarang, dengan adanya tahun kaum muda menyediakan waktu untuk menampakakan jati diri kaum muda yang mau mengembangkan diri.

Bagaimana mengangkat peran kaum muda dalam gereja?

Yang sangat ideal, sejak menjalankan pelayanan ini, mari kita duduk bersama, artinya tiap komunitias diharapkan berembug bersama, istilah rohaninya adalah penegasan rohani, untuk menemukan tuntunan Tuhan. Dari keuskupan tidak ada petunjuk, diharapkan kita dapat membaca situasi seperti apa keadaan kaum muda yang dihadapi, ditanya seperti apa keinginan kaum muda atau mereka sendiri disuruh berkumpul untuk berbicara. Menemukan apa yang dibutuhkan oleh kaum muda.

Yang paling pas adalah dengan adanya orang tua yang mendampingi orang muda, tapi memang harus bisa memahami jiwa orang muda, yang memiliki jiwa berbeda dengan orang tua. Dimana gambaran karakter orang muda dan orang tua itu lain secara psikografi, hal ini terkadang menimbulkan konflik. Yang terpenting untuk orang muda adalah dapat menahan diri.

Apakah ada hambatan yang dihadapi gereja, dalam menggiatkan keaktifan kaum mudanya?

Kita harus kritis, dalam arti aktif dan tidak aktif itu, bukan berarti bila mengadakan kegiatan kemudian hanya sedikit orang yang hadir, dikatakan tidak berhasil, tapi kita lihat bekasnya, dari mereka yang datang menjadi perekat bagi yang lain. Tidak mudah mengumpulkan orang muda, karena orang muda memiliki komunitas yang berbeda-beda, disinilah peran penggerak mencoba untuk merangkul komunitas yang berbeda tadi.


Posisi kaum muda di dalam gereja ?

Jika dalam arti Gereja secara luas, posisinya adalah sama, baik antara orang muda, pastor, suster, posisi kita adalah sama yaitu peziarah dalam iman, dengan peran berbeda tiap anggota gereja. Jika posisi dalam organisasi gereja, posisi di masing-masing paroki berbeda, yang banyak terlontar kritik “orang muda tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pastoral dalam paroki.” Misalnya dalam rapat harian dewan paroki apakah ada orang mudanya? Orang muda kok hanya ambil posisi sebagai jaga parkir. Itu kritik yang selalu muncul, idealnya tentu ikut serta dalam hal pengambilan keputusan, ketika mengambil keputusan mungkin tidak terjadi titik temu antara orang tua dan muda, namun tidak jadi soal. Hal tersebut merupakan bagian dari proses, tentunya juga masih ada pastor paroki yang menentukan keputusan, jika nanti ada kesalahan, ya dievaluasi.

Pesan apa yang ingin Bapa Uskup sampaikan, menanggapi panggilan kaum muda menjadi imam yang Semakin surut?

Yang konseptual, alangkah indahnya hidup ini adalah anugerah, panggilan dan perutusan dari Allah, dan panggilan itu bukan hanya menjadi imam, namun juga berkeluarga. Membangun keluarga adalah panggilan dari Allah, kalau orang sadar hidup berkeluarga adalah panggilan dan perutusan, dia akan serius dalam mempersiapkan diri. Sekarang ini banyak sekali perceraian dalam pernikahan, karena tidak menyadari pernikahan itu apa. Namun jika disadari apapun jalan hidup sebagai suatu panggilan alangkah baiknya, disitu ada tempat untuk menerima, berdoa, dan salib, maka saya tidak jemu-jemu mengatakan bahwa hidup adalah panggilan.

Secara praktis apakah ada yang bertanya pada orang muda mengenai jalan hidup yang akan ditempuh. Sejauh yang ditemui, panggilan jadi imam muncul dengan ditanya entah oleh romo paroki, orang tua. Maka saya sering berpesan orang tua untuk bertanya, maksudnya apakah orang muda sadar betul akan jalan hidupnya. Dengan bertanya dapat memunculkan sebuah keinginan dari dalam diri orang muda terpanggil menjadi imam.

Dikutip dari : http://buletinlenterabanyumanik.blogspot.com/2009/06/kaum-muda-saatnya-menampakkan-jati-diri.html

baca selanjutnya...

Jumat, 01 April 2011

Bangkitlah Kaum Muda Katolik!

Kurangnya perhatian pimpinan gereja, ketiadaan dana serta keterbatasan informasi telah membuat para kaum muda Katolik bingung darimana harus memulai mendirikan seksi komunikasi. Kebingungan itu masih masuk akal jika terjadi di wilayah pedalaman. Namun jika kebingungan tersebut datang dari kaum muda di kota-kota besar, rasanya itu cukup ironis.

Arus deras informasi yang ini didukung oleh teknologi internet dan telepon selularpun, membuat kaum muda kita bertanya-tanya. Apa tugas bidang komunikasi di paroki-paroki? Jawaban yang paling gampang ditemukan adalah bahwa tugas seksi komunikasi itu ialah membuat bulletin, punya radio, punya studio rekaman, mengurus internet, serta media komunikasi lainnya.

Namun, jawaban di atas itupun masih membingungkan kaum muda di perkotaan. Ada asumsi bahwa memulai kegiatan komunikasi harus dari hirarki di atas. Pimpinan Gerejalah yang harus memulai dan membuat arahan komunikasi.

Kaum muda dengan semangat muda, seyogyanya bisa mendobrak tradisi tersebut. Masih segar di telinga kita bagaimana Barack Obama, kandidat muda berlatar belakang wartawan, akhirnya tampil sebagai calon presiden kulit hitam pertama di negara adidaya Amerika Serikat. Masih segar pula pembuktian bahwa internet menjadi faktor kunci kemenangan sang kandidat . Tampilnya Obama telah menjadi bukti betapa kekuatan arus informasi dan komunikasi yang didukung dengan semangat perubahan, mampu mendobrak undang-undang tak tertulis "Presiden Amerika Serikat harus berkulit putih".

Maka amatlah disayangkan jika kaum muda Katolik merasa terbentur dengan rintangan otoritas hirarki ataupun kekurangan sumber informasi. Ide-ide kreatif yang bergulir dari obrolan di café, kerjasama lintas sosial, ataupun penggalangan solidaritas karitatifpun, bisa menjadi langkah bagi awal kaum muda untuk membangun komunikasi bagi gerejanya. Mulai dari ide perayaan Valentin, donor darah, warnet, kerja bakti kebersihan kerjasama antara Mudika dan RT setempat sampai pada forum dialog formal, secara tidak langsung sudah menjadi sumber pewarta gerejanya.

Semua wujud fisik media seperti radio, tv, handphone dan internet hanyalah bentuk fisik sarana pewartaan. Gerak kaum muda sesungguhnya merupakan seksi komunikasi gereja yang sebenarnya.

"Maka, bangkitlah kaum muda! Buatlah sesuatu dengan semangat, maka Gereja akan berubah. Karena Gereja adalah dirimu juga!

Sumber : http://www.mirifica.net

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP